Dewasa ini dunia pendidikan Islam dihadapkan pada wacana
baru yang dikemas dengan kata-kata dan istilah menarik perhatian banyak
kalangan. Wacana tersebut adalah pendidikan multikultural. Pendidikan yang berparadigma inklusif dan pluralis ini, hadir
dengan menawarkan pengenalan keanekaragaman budaya. Konsep ini
sebetulnya memprotes pendidikan Islam saat ini. Alasannya adalah,
pendidikan agama -terutama agama Islam- selama ini dianggap sebagai
pendidikan yang eksklusif dan dogmatis. Wacana ini menjadi berkembang
ketika mendapat respon yang positif dari pihak pemerintahan,
cendikiawan, dan para akademisi. Yang menjadi persoalan adalah, model
pendidikan ini sudah melampaui toleransi, karena mengusung pluralisme
agama dan mendekonstruksi konsep-konsep teologis.
Pendidikan
multikultural mengajarkan manusia untuk menghargai dan menjunjung
tinggi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Tujuannya agar
guru dan siswa mempunyai paham inklusif, pluralis dan humanis.
Pendidikan dengan model seperti ini seakan-akan bagus. Namun ketika
masuk dalam aspek agama, pendidikan ini mengalami problem teologis. Hal
ini berdasarkan asumsi bahwa semua agama dan kepercayaan mengandung
ajaran tentang nilai-nilai universal yang sama. Tulisan sederhana ini
hadir untuk memaparkan problem teologis pendidikan multikultural.
Menurut Abdullah Aly, wacana pendidikan multikultural di Indonesia digulirkan sekitar tahun 2000. Tujuannya agar
peserta didik bersedia menerima kelompok lain secara sama sebagai
kesatuan, tanpa mempedulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa, maupun agama.
Dari sini terlihat bahwa ruang lingkup pendidikan multikultural
sebenarnya meliputi aspek sosial budaya, gender, bahasa, politik, dan
agama. Dari sekian aspek tersebut, aspek agama mengalami problem yang sangat fundamental. Karena hal ini menyangkut aqidah seseorang. Dari hasil kajian penulis, terdapat tiga problem besar yaitu, problem ketuhanan,ke agamaan dan penafsiran Teks suci.
Pertama, problem ketuhanan.
Dalam buku ”Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi”, disebutkan
bahwa landasan filosofis pelaksanaan pendidikan multikultural di
Indonesia harus didasarkan kepada pemahaman bahwa ”satu Tuhan, banyak agama” merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia sekarang. Dari pernyataan tersebut, nampak bahwa pendidikan multikultural mengajarkan kesetaraan ketuhanan. Bila demikian, keimanan siswa jadi bermasalah. Karena konsep tauhid di dekonstruksi.
Dalam pandangan Islam, konsep ketuhanan sudah sangat otentik dan final. Tuhan Allah adalah esa. Tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada sesuatu yang menyerupainya. (lihat: QS. Al-Ikhlas: 1-3). Begitu juga lafadz Allah adalah nama diri (proper name)
dari dzat yang maha kuasa, yang memiliki nama dan sifat-sifat tertentu.
Dalam Surat Thaha ayat 14 diterangkan bahwa ketika Allah hendak memberi
wahyu kepada Nabi Musa as, Allah menyatakan dirinya dengan nama
“Allah”. “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan(yang
hak) selain Aku, maka sembahlah aku dan Dirikanlah shalat untuk
mengingatku” Dengan demikian, Allah
bukanlah nama Tuhan yang dimiliki agama Kristen dan Yahudi seperti yang
dipersangkakan oleh penganut pluralis-multikultural.
Menurut al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya’ Ulumuddin” bab “Ilmu”.
Diterangkan bahwa setiap individu muslim wajib mempelajari dasar-dasar
keimanan. Ketika seorang muslim sudah sampai baligh atau berumur, maka
yang pertama wajib untuk dipelajarinya kalimat syahadat dan maknanya.
Yaitu kalimat “Laa Ilaaha Illallah Muhammad al-Rasulullah”. Konsep tauhid tersebut sangat berarti kepada siswa sebagai bekal keimanannya. Dengan keimanan tersebut siswa menjadi kuat aqidahnya dan ilmu yang diperolehnya menghantarkan kepada kedekatan spritual pada Allah swt.
Kedua, problem keagamaan. Menurut penganut multikulturalis,
pendidikan multikultural berusaha membangun pemahaman siswa terhadap
nilai-nilai universal yang ada dalam agama-agama. Dengan pemahaman semacam ini
diharapkan mereka dapat menyadari bahwa meskipun masing-masing agama
mempunyai bentuk yang berbeda-beda, agama-agama itu mempunyai substansi
religiusitas yang sama yaitu mengandung ajaran tentang “nilai-nilai
universal. Dengan demikian, diharapkan
siswa akan mempunyai wacana keberagamaan yang inklusif, pluralis dan
demokratis sehingga mereka dapat memahami, menghargai dan menghormati
agama dan kepercayaan orang lain.
Dari pernyataan tersebut, terlihat bahwa pendidikan model ini
mengajarkan kesetaraan agama dan menanamkan paham relativisme
kebenaran. Karena Dengan demikian siswa terdidik untuk meyakini
kebenaran agama lain dan pada saat yang sama mampu bersikap inklusif dan pluralis. Sehingga siswa tidak mengakui kebenaran agamanya sendiri.
Adapun
relatifisme kebenaran yang diajarkan melalui pendidikan multikultural
sangat berbahaya bagi siswa. Karena ilmu yang diperolehnya menjadi
relatif, maka siswa sulit membedakan antara kebenaran dan
kesalahan, kebaikan dan. Akibatnya pada diri siswa muncul sikap
keragu-raguan (skeptis). Padahal tujuan mempelajari ilmu adalah untuk
mendapatkan kebenaran ilmu pengetahuan. Begitu juga setiap manusia
dianugrahi Allah swt. akal agar bisa mencapai kebenaran dan keyakinan.
Dengan keyakinan, manusia bisa sampai pada kekhusukkan dan kenikmatan
ibadah serta kebahagiaan abadi. Sikap skeptic dan relativisme kebenaran
yang dilahirkan dari rahim multikulturalisme tersebut harus dijauhi oleh
setiap manusia karena dapat merusak sendi-sendi aqidah Islam.
Ketiga. Problem penafsiran Teks Suci (Wahyu). Para penganut multikulturalis berasumsi bahwa persoalan keragaman sebenarnya tidak lepas dari interpretasi manusia akan teks suci atau divine text
yang dipercaya sebagai ungkapan langsung dari Tuhan kepada manusia.
Sementara dalam kerangka kerjanya, tidak ada tafsir yang seragam
terhadap suatu hal. Persoalan perbedaan tafsir agama ini menjadi problem
pelik tatkala ada pihak yang menganggap bahwa otoritasnya saja yang
paling berhak untuk mengiterpretasikan teks suci dan hanya tafsirnya saja yang paling valid dan benar, sedangkan tafsir orang lain dianggap salah.
Para mufassir memang berbeda, tetapi perbedaan mereka bukan pada masalah
yang ushul (fundamental), seperti, Ketuhaan. Perbedaan mereka juga sama
sekali tidak mengatakan bahwa semua agama sama. Dengan demikian bila
seseorang hendak menafsirkan, harus menggunakan metode yang benar, tidak
berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak berdasar. Dan tidak semua bisa
menafsirkan nash sekehendaknya karena bila salah menafsirkan, akibatnya
jadi fatal. Dalam sebuah riwayat, ketika seseorang menafsirkan al-Quran
dengan metode yang salah, walaupun hasilnya benar dia tetap salah (fa ashoba). Jadi, sekalipun para mufassir berbeda, namun mereka sama-sama memiliki syarat-syarat yang digunakan untuk menafsirkan.
Menurut Dr. Muhammad Nabil Ghanaim dalam kitabnya “Dirasat fi at-Tafsir” dijelaskan bahwa syarat-syarat Mufassir diantaranya adalah: pertama,
mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad saw. Karena al-Qur’an saling menafsirkan satu sama lain, dan
Hadits Nabi sallahu ‘alaihi wasallam juga banyak menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’an. Kedua, mengetahui pendapat para Sahabat dan tafsir
mereka terhadap al-Qur’an. Karena mereka adalah orang-orang yang paling
mengetahui tentang turunnya al-Qur’an dan kondisi saat turunya wahyu
itu. Ketiga, penafsir harus mempunyai aqidah yang lurus dan
memegang teguh sunnah Rasulul, serta ikhlas dalam memancangkan tujuannya
sehingga mendapat pertolongan Allah swt. Keempat, mengetahui
I’rab dalam bahasa Arab, sehingga ia tak mengalami kebingungan ketika
menghadapi kemungkinan banyaknya bentuk suatu reduksi.
Jadi,
dapat kita simpulkan bahwa pendidikan multikultural bukan hanya
mengajarkan kepada peserta didik tentang keragaman budaya, suku ras,
etnis dan agama, tetapi juga mengajarkan paham pluralisme agama,
relativisme kebenaran, dan humanisme sekuler. Dengan demikian pendidikan model ini tidak menjadikan manusia beradab. Padahal Tujaun pendidikan yang sebenarnya adalah menjadikan manusa beradab. Manusia beradab adalah yang bertakwa kepada Allah swt, dan menjadikan Nabi sebagai uswah hasanahnya. Sehingga
ia menjadi manusia yang beriman. Bukan menjadi manusia pluralis,
inklusif dan skeptik yang jauh dari nilai-nilai ketauhidan. Oleh karena
itu, sebagai umatb muslim, terutama para akademisi dan para pelajar supaya lebih berhati -hati dengan hadirnya wacana baru ini.Wallahu a’lam Bishowab.
Penulis adalah Mahasiswa Program Pasca Sarjana di Institut Studi Islam Darussalam Gontor Ponorogo (ISID)
Fakultas Ushuluddin, Jurusan Ilmu Akidah, Alumni PKU angkatan 4 ISID Gontor
Playtech acquires Playtech for £7.4bn in takeover - JTM Hub
BalasHapusIt 광주 출장안마 is one of the leading players in gaming 강릉 출장마사지 software. Playtech is 파주 출장샵 expanding 광명 출장마사지 its online gaming portfolio to include Playtech, 대전광역 출장안마