Senin, 26 Maret 2012

Lafadz Allah Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi



A.     Pendahuluan
Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari konsep Tuhan tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.
Tuhan dalam Islam adalah Haq dan final. Tuhan dalam Islam, telah disepakati penyebutannya oleh umat Islam dengan sebutan Allah. Kesepakatan tersebut berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang dijelaskan dalam banyak ayatnya. Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhannya.
Lafadz Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa lafadz Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan. Dalam konsepsi Fakhruddin Al-Razi Allah merupakan Tuhan yang mutlak, Maha Sempurna dan berbeda sama sekali dengan ciptaan-Nya.[1] Tulisan ini akan menjelaskan konsep Allah menurut Fahruddin ar-Razi. Ruang lingkup pembahasan ini meliputi, nama dan sifat Allah

C.    Tentang nama Allah
Untuk memahami konsep Allah menurut Fahruddin ar-Razi, metode yang paling membantu adalah dengan menyimak tafsirannya ketika berinteraksi dengan kata ini. Basis dari segala pandangan teologisnya, berporos dari caranya menafsirkan dan menginterpretasikan lafadz Allah.
Secara etimologi, Allah adalah nama Arab[2]. Asal dari lafadh Allah menurut imam ar-Razi adalah al-Ilah. Lafadz tersebut terdiri dari enam huruf, namun kata ilah tersebut ketika diganti dengan perkataan Allah tinggal empat huruf dalam tulisan, yaitu hamzah  (أ), dua lam (لل), ha’(ه)[3],. Allah swt. (Allah merupakan kata agung (lafadz al-jalalah) merupakan nama diri (ism al-dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya. Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, imam Ar-Razy juga  menyebutkan bahwa Allah adalah al-ismu al-A’dzam.[4]
Menurut imam Ar-Razi, lafadz Allah tersebut tersusun dari empat huruf. Jika huruf  pertama alif dihilangkan, tiga huruf  lainnya menjadi simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunya) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah) . Huruf pertama, “alif”, merupakan sumber segala sesuatu, dan huruf terakhir, “hu” (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Maha Suci dari semua sekutu[5].
Sedangkan secara terminologi, Menurut Imam Ar-Razi, Allah adalah dzat yang paling mulia secara mutlak. Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan[6]. Allah merupakan Tuhan alam semesta, Tidak ada sekutu baginya, Tidak ada bandingannya, dan tidak ada yang menyerupainya[7]. Senada dengan imam Ar-Razi, dalam konsepsi Ibnu Katsir, Allah adalah nama diri  al-ismu al-a’dhamu’. Allah juga merupakan nama yang khusus dan tidak ada sesuatu pun yang memiliki nama itu selain Allah Rabb al- “Alamin (Tuhan seluruh alam semesta)[8].
Dari pengertian tentang lafadz Allah tersebut dapat ditegaskan bahwa Allah betul-betul nama diri (proper name) dan Tuhan seluruh alam semesta. Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya juga telah menjelaskan bahwa Allah adalah al-Ismu al-Jamid (kata benda yang tidak berasal usul dari kata lain). Terkait dengan hal ini, Imam syafi’i, Imam Haramain, dan Imam al-Ghazali juga berpendapat bahwa lafadz Allah adalah isim (kata benda) yang tidak memiliki akar kata, artinya, bukan isim musytaq yang memiliki akar kata.[9]
Karena lafadz Allah merupakan nama diri (proper name) maka, umat Islam dimanapun berada, tidak akan pernah mendapti problem nama Tuhan. Hal ini dikarenakan nama Allah telah ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur’an, lafdhan wa ma’nan dari Allah , Shalih fi kulli zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya, Dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal
Allah sebagai nama Tuhan dalam Islam, memiliki nama-nama yang indah  yang tertulis dalam al-Qur’an. Sebagaimana firman-Nya “walillahi al asma’ul husna fad’uhu biha” (Hanya milik Allah al-Asma’ al-Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutkan al-Asma’ al-Husna).[10] Disini dijelaskan bahwa nama-nama Allah itu banyak tapi yang diberi nama hanya satu. Dia adalah Allah swt. Dalam ayat tersebut juga di jelaskan bahwa ada perintah untuk memanggil (berdo’a) dengan menyebut nama Allah. Maka dalam hal ini nama menjadi alat untuk memanggil, dan yang dipanggil adalah Allah.
Terdapat ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa konsep Allah adalah nama diri (proper name) dapat kita  kaji dari surat At-Thahaa ayat 14:
ûÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O[11]$tRr&
Artinya: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang haq) selain Aku.
Menurut penafsiran Ar-Razi, lafadh laa ilaaha anaa, merupakan kalimat yang menunjukkan kepada istbat (ketetapan) Allah. Dan tidak pantas menyandangnya kecuali diri-Nya.[12]Ungkapan “tiada tuhan selain-Ku” mengisyaratkan pengetahuan pokok[13].

D.    Makna “Laa Ilaaha Illallaah”
Konsep Allah dalam pandangan ar-Razi telah dirumuskan dalam al-Qur’an yang tergambar dalam syahadat Laa ilaaha illallaah. Dalam menjelaskan makna syahadat tersebut, Fahruddin ar-Razi membahas secara khusus dalam kitab Ajaib al-Qur’an. Menurutnya, Laa ilaaha illallah disebut sebagai kalimat tauhid, karena menunjukkan peniadaan sekutu Allah secara mutlak. Dikatakan secara mutlak karena ketika Allah berfirman, “Tuhanmu adalah tuhan yang satu,”[14] bisa saja terlintas dalam pikiran seseorang bahwa Tuhan kami adalah satu, sementara Tuhan orang lain, berbeda dengan Tuhan kami. Dugaan semacam ini menurutnya lenyap lewat penjelasan tauhid secara mutlak. Allah berfirman, “tiada Tuhan selain dia.”[15]
Dalam menjelaskan Ayat “Tiada Tuhan selain Dia” tersebut , imam Ar-Razi menggambarkan, ketika kita berkata, “Tidak ada orang dirumah,” berarti kita menidakan esensinya. Ketika esensinya tidak ada, maka semua bagainnya juga tidak ada. Seandainya salah satu bagiannya ada, berarti esensinya ada. Sebab setiap bagiannya mencakup esensi tersebut. Jika esensinya ada, itu bertentangan dengan peniadaan esensi. Jadi ungkapan, “tidak ada orang di rumah,” berarti peniadaan secara total. Kalau sesudah itu disebutkan kecuali Zayd, berarti pengesaan secara total[16]. Berarti Tiada Tuhan selain Allah memberikan makna pengesaan secara total.

1.       Posisi Kata “Allah”
Selanjutnya, dalam menjelaskan kalimat tauhid tersebut, imam Ar-Razi menjelaskan kedudukan lafadz “Allah”. Lafadz tersebut dalam kajian ilmu nahwu berkedudukan ‘marfu’. Sebab, ia badal (pengganti) dari posisi kata “Laa” dan nominanya. Sebagai penjelasannya, jika ada ungkapan, “Ma ja’ani rajul illa Zayd (Tidak ada seorangpun mendatangiku kecuali Zayd)”, disini kata Zayd berbentuk marfu’ karena badal tadi. Dalam konteks ini bagian pertama diabaikan, sedang yang dilihat adalah bagian keduanya. Dengan demikian asumsi dari kalimat diatas, “Ja’ani Zayd (Zayd mendatangiku).” Ini sangat logis karena kalimat  diatas menafikan kedatangan siapapun, kecuali kedatangan Zayd. Adapun ungkapan, Ja’ani al-qawm illa Zayd (Semua orang datang kecuali zayd)”, disini badal tidak bisa diberlakukan. Sebab asumsinya, Ja’ani illa Zayd (datang kepadaku kecuali Zayd).” Artinya semau orang datang kepadanya kecuali Zayd. Ini mustahil. [17].

2.      Masud “Illa”
Berkaitan dengan makna kata “illa” pada kalimat Laa ilaaha illallaah., kata   “illa” menurutnya bermakna ghayr (selain) dan bukan bermakna kecuali. Sehingga asumsinya menjadi laa ilaaha ghayr Allah. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Seandainya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan lain selain Allah, pasti akan rusak[18].” Kata illa disini diasumsikan bermakna ghayr (selain). Alasannya, kalau kata illa diartikan sebagai pengecualian, maka kalimat laa ilaaha illallah menurutnya tidak murni sebagai kalimat tauhid. Sebab, asumsi kalimat tersebut menjadi: laa ilaaha yustatsna ‘anhum Allah ( tiada tuhan terkecuali dari mereka (tuhan-tuhan itu) Allah). Artinya semua tuhan dinafikan, sementara Allah sebagai pengecualian. Jadi kalau kata illa diartikan sebagai pengecualian, maka ungkapan laa ilaaha illallah bukan tauhid yang murni. Hal ini karena para ulama sepakat bahwa kalimat tersebut berisi tauhid murni. Dengan demikian, menurut imam Ar-Razi, kata illa harus diartikan dengan ghayr agar makna kalimatnya menjadi laa ilaaha ghayr Allah (tiada tuhan selain Allah)[19].
Selain merupakan kalimat tauhid, lafadzLaa ilaaha illallah” juga berfungsi sebagai nafyu (penegasian) dan itsbat (afirmasi). Dalam hal ini penegasian lebih didahulukan daripada penetapan wujud Allah. Alasannya, menurut imam ar-Razi, pertama, meniadakan sifat Tuhan dari selain-Nya dan kemudian diikuti dengan menetapkan sifat tersebut untuk-Nya lebih kuat daripada langsung menetapkan tanpa  meniadakan selain-Nya. Kedua, “tiada tuhan selain Allah” berfungsi mengeluarkan segala sesuatu selain Allah dari kalbu. Sehingga tatkala kalbu telah kosong dari yang selain Allah, lalu terlintas di dalamnya kekuasan Allah, cahayanya akan bersinar terang dan kekuasaan-Nya akan tampak secara sempurna, Ketiga, penegasian yang diperoleh melalui kala “la” (tiada) berkedudukan seperti thaharah (bersuci). Sementara penetapan wujud dengan kata kata “illa” (selain) berkedudukan seperti thaharah dalam shalat. Jadi “laa ilaaha” harus lebih didahulukan dari pada “illa Allah”[20].
Dengan demikian, lafadz laa ilaaha illallah tersebut merupakan perkara pokok (ushul). Dengan memahami hakekat kalimat tauhid tersebut, berarti sebagai umat Islam telah mengesakan Allah secara total. Karena sumber pokoknya adalah keutamaan sejati (yaitu ketauhidan), maka tak aneh jika kemudian lafaz laa illaaha illallah juga menempati posisi istimewa. Ketika kita telah mendeklarasikan keyakinan kita hanya pada Allah semata, maka harus menafikan ilah ilah yang lain sembari meneguhkan keyakinan bahwa hanya ada satu ilah, yaitu Allah swt. 

E.    Pandangan ar-Razi Tentang Mu’tazillah[21] dan Karramiyyah[22]
Dalam masalah ketuhanan, Mu’tazilah menganut prinsip bahwa Allah adalah Esa, sebagaimana kelompok salaf  memahaminya. Namun dalam hal sifat Tuhan, kelompok Mu’tazilah, terutama yang dimotori oleh Wasil Bin Atha’[23]  memiliki doktrin bahwa, mereka menolak adanya sifat-sifat Allah seperti al-Ilmu, Qudrah, Iradah, Hayat. Bagi wasil, mustahil ada dua Tuhan yang qadim dan yang azali. Katanya, siapa yang mengakui adanya sifat qadim pada dzat Allah maka ia mengakuinya adanya dua Tuhan.[24]  Sehingga makna peng-esaan dan pensucian bagi aliran Mu’tazilah ialah meniadakan semua sifat-sifat Allah.
Penolakan terhadap sifat-sifat Allah inilah yang membedakan Mu’tazilah dengan kebanyakan ulama salaf terutama kalangan Asy’ariyah, seperti halnya imam ar-Razi yang meneguhkan bahwa Allah memiliki sifat Maha Kuasa (al-Qudrah), Maha Mengetahui (al-Hayah), Maha Berfirman (al-Kalam), Maha Mendengar (al-Sam’u), dan Maha Melihat (al-Basar).[25]
Tuhan, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur’an yang terletak dalam surah al-Ikhlas adalah Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada yang menyerupai dengan-Nya[26]. Terkait dengan hal ini, Fahrudin ar-Razi mejelaskan dalam kitabnya Asas at-Taqdis, bahwa makna Allahu Ahad, berarti bahwa Allah itu tidak membutuhkan kepada selain-Nya. Kemudian setiap yang murokkab (tersusun) membutuhkan kepada setiap yang satu dari bagian-baginnya. Berarti setiap yang murokkab membutuhkan kepada yang lainnya.[27] Lafadz “Allahu Ahad” juga menunjukkan peniadaan jismiyah, tempat dan arah. [28]
Selain imam Ar-Razi, Ibnu Taymiyah, juga menafsirkan makna yang terkadung dalam surat al-Ikhlas, menurutnya, Tuhan adalah Esa, artinya bahwa Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Argumen selanjutnya, jika sesuatu yang secara sendirian melahirkan, maka seharusnya ada sesuatu yang keluar darinya. Apabila ada sesuatu yang bersandar pada yang lain, maka sudah tentu membutuhkan tempat. Keadaan yang semacam ini ditolak dengan firman-Nya “Allahu Ahad”. Hal ini karena Yang Maha Esa itu ialah yang tiada sesuatu pun yang setara dengan-Nya dan tidak ada bandingan-Nya.[29]  Dan Dia berbeda dengan ciptaan-Nya (mukhalafatu lil hawadits)[30].
Sebagai Tuhan yang Esa, kewujudan-Nya mesti berbeda dengan kewujudan yang lain dan semua bentuk persamaan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya. Prinsip akidah yang dikenali sebagai tanzih ini merupakan asas penting dalam faham ketuhanan dalam Islam yang membedakannya dari teologi agama-agama yang berasaskan politeisme[31]. Ia berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang jelas menyatakan tentang keunikan sifat dan hakikat Tuhan dari yang lain seperti ayat “Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya (laysaka mithlihi shay’),”[32] “Tidak ada pada-Nya sesuatu yang setara dengan-Nya (wa lam yakun lahu kufuwan ahad).”[33]
Dalam mentafsirkan ayat-ayat tersebut, al-Razi menjelaskan bahwa prinsip tanzih ini tidak boleh ditolak karena ayat-ayat yang mendukungnya  merupakan ayat-ayat mempunyai makna yang sudah jelas dan muhkamat (tetap) dalam menggambarkan perbedaan Tuhan dengan makhluk.[34] Oleh karena itu ayat-ayat tersebut maknanya tetap dan tidak bisa dipermasalahkan dengan berbagai bentuk pentakwilan. Disinilah pentingnya imam ar-Razi meletakkan aspek tanzih sebagai salah satu dari sifat-sifat wajib Tuhan, yang termanifentasi dari ungkapan mukhalafatu li al-hawaditsi (berbeda dengan yang diciptakan).  
Dalam memperkuat lagi aspek tanzih, al-Razi memberikan penjelasan berdasarkan hujah falsafah dan logika:
Pertama, Tuhan merupakan satu-satunya kewujudan yang tidak mempunyai bentuk persamaan (matsil) atau penyerupaan (sabhih).  Tidak ada genus, seperti yang diuraikan dalam ilmu mantiq, yang dikenakan kepada Tuhan karena Tuhan tidak boleh dikelompokkan dalam macam-macam jins (genus) yang dibawahnya terkandung naw’ (species) sebagaimana sifat-sifat makhluk yang lain. Bila pun ada persamaan antara Tuhan dan makhluk, sebagaimana yang terdapat dalam istilah sifat ilmu, hayat, sama, dan bashar, ini hanyalah persamaan dari segi bahasa (al-isthirak al-lafdzi).[35]
Kedua, penekanan ayat-ayat diatas membuktikan bahwa setiap sifat Tuhan adalah berbeda secara dzatiah (esensi) dengan sifat makhluk. Ini bermakna perbedaan antara Tuhan dengan makhluk adalah perbedaan mutlak dalam arti bahwa tiada satupun aspek yang boleh disamakan antara kedua-duanya.
Ketiga, betitik tolak dari prinsip ini juga, Tuhan juga tidak boleh disamakan dengan benda-benda yang bersifat jisim karena itu akan mengandaikan bahwa Tuhan boleh dibagi (murakkab) sebagaimana setiap jisim terbagi-bagi. Setiap benda yang terbagi, maka setiap bagiannya memerlukan satu dengan yang lain.
Keempat, Tuhan juga tidak boleh dikatakan menempati ruang, karena bila menempati ruang sama saja mengatakan bahwa Allah itu bertempat  sedangkan bertempat juga merupakan salah satu ciri benda yang berjisim. Tempat juga merupakan sesuatu yang mempunyai ukuran tertentu, begitu juga dengan jisim. Sementara jisim merupakan sesuatu yang mempunyai ukuran  tertentu, batasan-batasan tertentu dan sebagainya yang mengambil ruang dan tempat. Terhadap hal yang demikian, Maha Suci Allah swt. Dari yang bertempat dan berjisim. Karena wujud Allah itu tidak berjisim, bertempat dan mempunyai Arah.
Penjelasan  al-Razi mengenai penegasian aspek tajsim merupakan respon terhadap pandangan golongan Mushabbihah dan Mujassimah terutama golongan Karamiyah[36]. Golongan ini bisa dikatakan terpengaruh dengan pemikiran agama lain seperti Yahudi dan Nasrani dan juga paham animisme[37] yang dibawa dari budaya dan keagamaan lama mereka. Beberapa tokoh Syi’ah seperti Hisham bin Hakam berpandangan bahwa Tuhan mempunyai ukuran dan panjang, bahwa panjang tuhan adalah tujuh depa tangan manusia sementara Abu al-Hudhayl mengatakan bahwa Tuhan tidak lebih besar dari Jabal Qubays di Mekah.[38] Adapun golongan Karramiyyah berpandangan bahwa Tuhan boleh ditunjuk dengan arah, Tuhan ada di atas dan juga dibawah.[39]
Secara khusus, hujah-hujah al-Razi adalah dilatarbelakangi sanggahan beliau terhadap golongan Karamiyyah yang mengatakan bahwa Tuhan adalah jauhar (substansi materi) dan Tuhan mempunyai arah. Hujah mereka ini adalah berdasarkan prinsip logika bahwa setiap benda yang berwujud, ianya ada berada di dalam jauhar yang lain (yang merujuk kepada sifat ‘aradh (sifat materi) yang berada di dalam jauhar, seperti warna, bentuk dll), atau ia terpisah dengan jauhar yang lain dari segi arah (sebagaimana sifat jauhar yang terpisah dengan jauhar yang lain). Berdasarkan prinsip jauhar dan ‘arad’ ini, golongan Karamiyyah membandingkannya dengan Tuhan dan alam.
Disebabkan Tuhan dan alam adalah dua perkara yang wujud, maka Tuhan juga berarti berada di dalam alam (sebagaimana ‘arad’ berada di dalam jauhar) atau Tuhan berada terpisah dengan alam pada satu arah (sebagaimana jauhar). Disebabkan Tuhan tidak berada di dalam alam karena ini akan memberikan implikasi penyatuan Tuhan dengan alam (hulul), maka Tuhan adalah terpisah dengan alam dalam satu arah. Pada hakikatnya, hujah golongan Karamiyyah ini adalah bertujuan untuk menjustifikasi ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Tuhan berada di arah atas.
Pendapat kelompok Karramiyah diatas terbantahkan dengan pendapat  imam ar-Razi dalam tafsir mafatih al-Ghaib, yang menyatakan bahwa:   
Sesungguhnya Allah tidak mempunyai Jisim atau Jauhar, karena bentuk  tersebut bersifat pasif yang menjadikan-Nya seperti ciptaan-Nya. Dengan menggambarkan bahwa Allah itu mempunyai bentuk, maka hal tersebut bertentangan dengan kaidah yang menyatakan bahwa Allah itu berdiri sendiri (Qiyamuhu binafsihi).[40]
Selain imam Ar-Razi, terdapat tokoh Asy’ariyah yang juga mempunyai rumusan tentang adanya Tuhan, berdasarkan kenyataan alam ini. Adalah al-Baqillani yang mempunyai rumusan bahwa alam indrawi ini katanya adalah baru (huduts) karena ia terdiri dari tiga unsur: jisim, jauhar (substansi materi) dan ‘aradh’ yang melekat (layanfakku) pada keduanya. Jisim bukanlah sesuatu yang tunggal, karena ia tersusun dari jauhar-jauhar, dan jauhar itu adalah unsur atau  bagian terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Sedangkan ‘aradh’ adalah keadaan atau sifat yang melekat pada jisim dan jauhar. Ia selalu berubah dan menghilang pada saat kedua wujudnya pada jisim dan jauhar untuk diganti dengan yang lain.
 Oleh karena jisim dan jauhar tidak terlepas dari aradh, dan sebaliknya aradh sangat bergantung wujudnya pada jisim dan jauhar, yakni tidak dapat berdiri sendiri, selain itu ia juga baru karena selalu berubah, maka alam semesta ini, yang terdiri dari tiga unsur tersebut, juga keadaannya baru. Jika alam ini baru, maka tentunya harus ada suatu dzat yang tidak baru sebagai sebab bagi perubahan itu. Dzat itu adalah Allah swt. [41]

Kesimpulan
Dari pemaparan tetang konsep Tuhan menurut Fakhruddin Ar-Razi diatas, dapat disimpulkan, pertama: Tuhan dalam Islam disebut dengan lafadz Allah. Lafadz tersebut merupakan nama diri (proper name) yang mana, seluruh umat Islam tidak mengalami problem pemanggilan karena berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang otentik dan final. Lafadz Allah dalam pandangan Ar-Razi terumuskan dalam syahadat Laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan selain Allah). Syahadat tersebut mempunyai makna peng-esa-an Allah secara total.
Kedua, Allah swt. mempunyai sifat seperti halnya kaum asy’ariyah lainnya. Ia menafikan bahwa Allah berbilang, berjisim, bertempat, berada dalam ruangan,. Ataupun menyerupai dengan ciptaan-Nya. Hal ini karena Allah Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada ada yang menyerupainya. Perbedaan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya merupakan perbedaan mutlak dalam arti bahwa tiada satupun aspek yang boleh disamakan dengan-Nya. Maha suci Allah dari segala penyerupaan dan kekurangan. Wallahu a’lam Bishowab.













Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al-Karim
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam konsepsi Syeikh Nuruddin  ar-Riniry,     (Jakarta: Rajawali, 1983)
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003)
Al-Ash’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, vol. 2, ed. Muhy al-Din              Abd Hamid (Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1990)
Asy-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Terj. Asywadie Syukur, (Surabaya: PT. Bina    Ilmu, 2006)
Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011)
_______________, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1981)
_______________, Khalqu al-Qur’an Baina al-Mu’tazilah wa Ahli as-sunnah, (Beirut: Dar al-Jiil)
_______________, Mathalibul ‘Aliyah min al ‘Ilmi al-Ilaahi, ed. Dr. Ahmad Hijazi As-Saqa’ Juz 1(Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1980M-1307H)
_______________, Asas At-Taqdis, ,(Kairo, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah)
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adhim, (Riyadh: Maktabah Darus salam, 1994)
Ibnu Taymiyah, Tafsir Surah al-Ikhlas, (Kaherah: Dar al-Tiba’ah al-Muhammadiyah, t.t.)
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)




[1] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1981), juz 1, hal. 119
[2] Hal ini dibuktikan oleh Toshihiko Izutsu dengan konsepsinya bahwa nama  Allah telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Ia menerangkan masalah makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat orang-orang Arab pra Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang mereka pahami. Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah  berarti Tuhan Injil. Ketiga, Orang-orang Arab  pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen dan non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Hal ini terjadi ketika seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan Al-A’sha Al-Kabar menulis puisi pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah kearah monoteisme. Lihat, Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhn dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), p. 105. Konsep Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat menggantungkan harapan. Lihat, Q.S: Lihat, Q.S. 29: 61,63; Q.S. 31:25; Q.S.39:38; Q.S.43:9,87; Q.S.13:17; Q.S.16:53; dan  Q.S. 29:65
[3] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 1, p. 114
[4] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib,.....p. 123.
[5] Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011), p.28
[6] Imam Fahrudin Ar-Razi, Mathalibul ‘Aliyah min al ‘Ilmi al-Ilaahi, ed. Dr. Ahmad Hijazi As-Saqa’ Juz 1(Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1980M-1307H) p. 37
[7] Fakhruddin ar-Razy, Khalqu al-Qur’an Baina al-Mu’tazilah wa Ahli as-sunnah, (Beirut: Dar al-Jiil) P.5
[8] Lihat, Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adhim, (Riyadh: Maktabah Darus salam, 1994), p. 40
[9] Ibid, p. 40
[10] Q.S. al-A’raf: 180
[11] QS. Thaha: 14
[12] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih....., p. 152
[13] Fakhruddin ar-Razi, Ajaib al-Qur’an....., p. 11
[14] Q.S. al-Baqarah: 163.
[15] Q.S. al-Isra’: 70
[16] Fahruddin al-Razi, ‘Ajaib al-Qur’an....., p. 86
[17] Ibid, p. 170
[18] Q.S. al-An-Biya’: 22
[19] Fahruddin al-Razi, ‘Ajaib al-Qur’an,...., p. 172
[20] Ibid,......, p. 178-178
[21] Aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang tertua, Aliran tersebut lahir lebih kurang pada permulaan abad pertama Hijrah di kota Basrah (Irak). Asal usul penyebutan Mu’tazilah, diataranya karena Wasil bin ‘ata dan amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian Hasan Basri di masjid Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang-orang yang mengerjakan dosa besar  tidak mu’min dan tidak pula kafir lengkap, melainkan berada dalam suatu tempat diantara dua tempat (al-Manzilah baina Manzilaaini) tersebut, karena penjauhan ini, maka disebut Mu’tazilah. Pendapat yang mengatakan bahwa penyebutan Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang telah ada tentang orang-orang yang mengerjakan dosa besar. Lihat, A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), p. 76
[23] sebutan dari abu Huzaifah Washil ibn Atha al-Ghazzal-Al-Altsag.
[24] As-syahrastani, al-Milal wa al-Nihal,....., p. 40
[25] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), p.77
[26] QS. Al-Ikhlas 1-3
[27] Fakhruddin ar-Razy, Asas at-Taqdis,(Kairo, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah), p.30
[28] Ibid, p. 31
[29] Ibnu Taymiyah, Tafsir Surah al-Ikhlas, (Kaherah: Dar al-Tiba’ah al-Muhammadiyah, tanpa tahun), p. 13-25
[30] Al-Razi, Mafatih,....., p. 117
[31] Politeisme adalah menyembah tuhan-tuhan banyak. Golongan ini mempercayai adanya dewa-dewa. Dalam kepercayaan ini, hal-hal yang menimbulkan perasaan takjub dan dahsyat bukan lagi dikuasi oleh ruh-ruh, tetapi oleh dewa-dewa. Ada dewa yang bertugas memberikan cahaya dan panas ke permukaan bumi. Dewa ini dalam agama Mesir kuna disebut Ra. Ada pula dewa yang tugasnya menurunkan hujan, dewa ini dinamakan Indera. Dan ada pula dewa angin yang disebut dengan Wata. Selanjutnya dewa yang tiga itu mengambil bentuk Brahma, Wisnu, Syiwa. Lihat, Harun Nasutian, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), p.31
[32] Q.S. al-Shura : 11
[33] QS. Al-Ikhlas 1-3
[34] Fakhruddin al-Razi, Asas al-Taqdis,....., p. 30.
[35] Ibid, p. 77.
[36] Karamiyyah merupakan kelompok yang dimasukkan kelompok shifaniyah karena mereka mengakui bahwa mempunyai sifat namun mereka sangat berlibihan yang akhirnya menyamakan Allah dengan makhluk (tasybih) dan mengakui Allah mempunyai anggota tubuh seperti manusia (tajsim). Kelompok ini disebut Karamiyyah terambil dari tokoh kelompok tersebut yang bernama Abu ‘Abdillah ibn Karam (255H). Kelompok ini terpecah menjadi dua belas kelompok kecil, namun kelompok yang terpenting  ada enam; al-Tauniyah, al-Zariniyah, al-Ishaqiyah, al-Wahidiyah dan al-Haishamiah. Dalam hal iman, mereka hampir sepakat dengan Mu’tazilah bahwa akallah yang menentukan baik buruk seseorang. Bedanya, bahwa kelompok ini tidak mengatakan wajib bagi Allah mewujudkan kebaikan atau yang lebih baik. Menurut mereka sah iman seseorang hanya dengan tuturan lidah, sedangkan tashdiq dengan hati dan perbuatan, tidak termasuk unsur iman. Menurut mereka seseorang baru dikatakan mukmin yang benar diliha dari sisi pelaksanaan hukum lahiriyah dan taklif serta hukum-hukum akhirat dan ketentuannya. Orang munafik baginya adalah orang yang beriman di dunia, ia mendapat siksa yang kekal di akhirat, Lihat, Asy-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Terj. Asywadie Syukur, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006), p. 95-100
[37] Animisme adalah paham masyarakat primitif yang berpendapat bahwa semua benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa mempunyai roh. Sepeti kayu, gunung, laut, sungai, pohon, batu, bahkan rumputpun memiliki roh. Lihat, Harun Nasution,....,p. 26
[38] Al-Ash’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, vol. 2, ed. Muhy al-Din Abd Hamid (Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1990), p. 281-282.
[39] Lihat al-Shahrastani, Muhammad Abd al-Karim, Kitab al-Milal wa al-Nihal. Terj. Inggris, The Section on Muslim Sects, terj.. A. K. Kazi & J. A. G. Flynn (London: Kegan Paul International, 1984),p. 88-96
[40] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib,... p. 120
[41]Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam konsepsi Syeikh Nuruddin  ar-Riniry, (Jakarta: Rajawali, 1983) P.66

Konsep Tuhan Menurut Islam


A.    Konsep Tuhan yang Unik dan Otentik

Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari konsep Tuhan tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.
Konsep Tuhan dalam Islam, bersifat unik dan final, yang tidak sama dengan konsep Tuhan dalam agama-agama lain, seperti; Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu. Berbeda juga dengan  konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani maupun dengan tradisi mistik Timur dan Barat. Sebagaimana yang telah djelaskan Al-Attas bahwa:
“The nature of God Understood in Islam is not the same as the conceptions of God Understood in the various religious traditions of the world; nor is it the same as the conceptions of God understood in greek and Hellenistic philosophical tradition; nor as the conceptionsvof God understood in Western philosophical or scientific tradition; nor in that of Occidental and Oriental mystical traditions[1].

konsep Tuhan dalam Islam otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang juga bersifat otentik dan final, lafdhan wa ma’nan dari Allah , Shalih fi kulli zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Prof. Al-Attas menjelaskan “The nature of God as revealed in Islam is Derived from Revelation[2].
Konsep Tuhan dalam Islam bersifat “haq”. Bukan Tuhan hasil personofikasi, sebagaimana agama lain melakukannya sebagai penyelamat, penebus dosa, Bapa, anak, ruh qudus dan sebagainya. Dan bukan juga seperti Tuhan dalam konsepsi Aristotle, yaitu Tuhan filsafat, yang sering diistilahkan dengan penggerak yang tidak bergerak, Tuhan yang ada dalam pikiran manusia. Yang berari bahwa ketika manusia tidak berfikir Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada.  Tuhan adalah Dzat yang transenden dan mutlak, yang sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak tepat manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri mengenai personifikasi ataupun atribusi kepada Dzat Pencipta[3].
Konsep Tuhan dalam Islam telah memperlihatkan kemurnian dan kejelasan dengan konsep Tuhan dalam agama lain (Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dsb) maupun dengan konsep Tuhan dalam pandangan penggagas pluralisme agama. Baik agama lain maupun kaum pluralis, sama-sama menghadapi problem teologis. Kalangan non muslim membangun konsep Tuhan di atas landasan yang rapuh, sedangkan kalangan pluralis membangun doktrinnya di atas keraguan-raguan(skeptis)  dengan meragukan kebenaran yang seharusnya diyakini. Dalam tulisan ini, penulis membatasi pembahasan pada konsep Tuhan tiga agama semitik(Yahudi, Kristen, Islam)  dan Tuhan dalam pandangan Pluralisme agama.
Makna Laa ilaaha illallah
Konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan dalam al-Qur’an yang tergambar dalam syahadat tauhid “Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah” (tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Seseorang yang bertauhid, akan mengikrarkan dan meyakini, bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah. Bukan Tuhan yang lain. Kemudian ia juga harus menyatakan bahwa Muhammad sebagai utusan Allah yang membawa risalah untuk mengenalkan Allah kepada hambanya. Tauhid disini dinamakan tauhidullah, yakni pengenalan dan pengakuan akan Allah Yang maha Esa sebagai satu-satunya Tuhan[4].
Konsep Laa ilaaha illallah, banyak kita temukan dalam al-Qur’an, diantaranya, Dalam surah Muhammad, Allah telah menyatakan “ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah”[5]. Dalam surah Thaha, Allah berfirman, “ Aku memilihmu, maka perhatikan apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesunggunya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain-Ku. Karena itu, sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk mengingat-Ku[6]. Ayat ini merupakan wahyu[7] yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Kemudian juga dalam surat al-Isra’, Allah berfirman, “Tidak ada Tuhan selain Dia”[8].  Dari beberapa ayat tersebut,nampak jelas bahwa Tuhan dalam Islam adalah Allah.
Selain terdapat dalam Al-Qur’an, konsep Laa ilaaha illallah  juga terdapat dalam beberapa hadis. Diantaranya, dari ‘Abd Allah ibn Abi Qotadah dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda, siapa yang mengucap, ‘Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah’, dengan lisannya, dan dengan ini kalbunya tentram, niscaya ia diharamkan menghuni neraka[9]. Riwayat lain, dari Mu’ad ibn Jabal meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Siapa yang akhir perkataannya Laa Ilaaha Illallah lalu meninggal Dunia, niscaya ia masuk surga[10].

Makna Allah
Allah adalah sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci , yang maha mulia; daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut istilah-istilah yang mereka tentukan[11].
Istilah nama Allah sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan dalam Islam. Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan nama Lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak terdapat problem dalam penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan pun, dan siapapun, umat Islam akan selalu menyebut Tuhannya dengan  “Allah”. Hal ini dikarenakan nama Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur’an, dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal.
Allah swt. (Allah, kata agung (lafadz al-jalalah) adalah nama diri (ism al-dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya. Kata itu tersusun dari empat huruf. Jika huruf  pertama, alif dihilangkan, tiga huruf  lainnya simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunya) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah) . Huruf pertama, alif, merupakan smuber segala sesuatu, dan huruf terakhir, hu (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Mahasuci dari semua sekutu[12].
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilaah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa[13]. Menurut Ibnu Katsir, lafadz Allah termasuk ism Jamid[14]. Jadi lafadz Allah bukan bersal dari ilaah[15].
Konsep Allah juga telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu menerangkan masalah makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat orang-orang Arab pra Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang mereka pahami. Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah  berarti Tuhan Injil. Ketiga, Orang-orang Arab  pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen dan non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Hal ini terjadi ketika seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan Al-A’sha Al-Kabar menulis puisi pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah kearah monoteisme[16]. Konsep Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat menggantungkan harapan[17].
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya. Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.
Allah juga merupakan sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci , yang maha mulia; daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut istilah-istilah yang mereka tentukan[18].
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilaah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa.
Dalam kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya mengutusnya membawa Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan nasab-Nya. Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya dengan menggunakan kalimat perintah:
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.  Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.
Surah al-Ikhlash ini berisi sebagian al-asma’ul husna. Pengertian “Allah Ahad’ adalah Allah itu satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan-Nya. Ibnu Abbas dan sekelompok mufassir al-Qur’an berkomentar bahwa pengertian Allah Ahad adalah Allah itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. [19] Sebagian filsuf  Arab, diantaranya Ibnu Sina, berpendapat bahwa pengertian ‘Allah Ahad’’ adalah bahwa Allah itu satu (sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan keterdahuluan-Nya, serta tidak ada sesuatupun  yang menyertai-Nya dalam sifat-sifat wajib-Nya. Dia wajib bersifat ada dan mengetahui segala sesuatu, hidup namun tidak akan mati, mengubah namun tidak pernah berubah[20]
Menurut sebagian pakar bahasa, Allah SWT. Berfirman, “Qul huwa Allahu Ahad”, bukan “Qul huwa Allahu Wahid”. Kata Wahid termasuk kategori bilangan sehingga sangat mungkin yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun kata Ahad tidak dapat dibagi lagi, baik dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifat-Nya.
B.     Konsepsi Ketuhanan dalam Agama Yahudi dan Krisen
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, wacana ketuhanan agama non muslim (terutama Yahudi dan Kristen) mengalami perdebatan yang panjang dan tidak berujung. Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, penyebutan nama Tuhan masih problematik, dikarenakan sumber kitab sucinya yang mengalamai penyelewengan (tahrif) sehingga tidak otentik. Dalam sejarahnya Kalangan Yahudi, sampai saat ini, masih belum mengenal Tuhan yang sebenarnya. Mereka juga belum ada kesepakan untuk menyembah Tuhan yang Esa, sebagaimana para nabi mengajarkan ketauhidan kepada kaumnya. Sehingga, sejatinya, mereka belum menemukan dan masih berspekulasi tentang nama Tuhan yang pasti. Sementara, Kalangan Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah yahweh.
Ketika nabi Musa datang mendakwahkan Tauhid kepada Bani Israil, menurut pakar sejarah Barat Will Durant, Kaum Bani Israil sebagian tidak meninggalkan sama sekali penyembahan kepada kambing, dan lembu. Karena hewan-hewan tersebut menjadi lambang Tuhan mereka[21]. Sehingga sejak awal memang kaum Yahudi memiliki tradisi paganisme yang sulit dihilangkan-bahkan sejak awal sejak nabi Musa sampai nabi Isa diangkat menjadi Rasul. Maka sangat wajar jika nabi Musa meniggalkan kaumnya beberapa saat untuk pergi ke gunung, untuk menerima wahyu dari Allah, kaumnya menyembah patung sapi yang terbuat dari emas  yang dibaut oleh Musa samiri[22]. Padahal mereka ditinggal nabi Musa untuk beberapa hari saja dan nabi Musa sudah melimpahkan urusan Dakwahnya kepada nabi harun as[23].
Kepercayaan yang kuat terhadap misitsme di kalangan Yahudi tersebut, ternyata menjadikan suburnya budaya sihir pada zaman itu. Banyak lahir tukang sihir ketika nabi Musa as diangkat menjadi Rasul. Bahkan Will Durant, mengisahkan ketika nabi Musa diberi Mu’jizat mengubah tongkat menjadi ular, orang-orang Yahudi lantas beraggapan bahwa nabi Musa dan nabi Harun adalah tokoh penyihir. Dengan kisah tersebut, maka tersebarlah ilmu sihir dikalangan bani Israil, sampai akhirnya mempengaruhi kepercayaan mereka[24]
Budaya paganisme Bani Israil yang kuat juga dapat dibuktikan dalam suatu kisah di Bibel kitab Raja-Raja, bahwa nabi Musa pernah membuat seekor ular dari tembaga yang  kemudian disembah oleh kaumnya[25]. Prof. Ahmad Syalabi, seorang pakar perbandingan agama dari Mesir, mengatakan bahwa tradisi penyembahan yang dilakukan oleh agama Yahudi banyak dipengaruhi oleh kebiasaan bangsa Kan’an. Bangsa Yahudi menurut syalabi begitu mudah terpengaruh oleh bangsa Kan’an dalam beragama. Tuhan yang disembah oleh bangsa Kan’an kemudian diambil alih oleh bangsa Israil. Bahkan setelah bangsa Israil mendiami negeri Kan’an itu, tempat ibadah mereka menyatu yang didalamnya terdapat berhala Yahwah-sebutan bangsa Israil- dan berhala Baal, Tuhan kaum Kan’an. Maka ketika bersembahyang kadang-kadang kaum Yahudi di Kan’an menyebut kedua Tuhan, Yahweh dan Baal[26] .
Harold Bloom, dalam bukunya, Jesus and Yahweh, juga menulis, bahwa YHWH adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui bagaimana mengucapkannya:
“The four-Letter YHWH is God’s proper name in the Hebraw Bible, where it appears some six thousand times. How the name was pronounced we never will know.”[27]
Dalam bukunya, The History of Allah, tokoh Kristen Ortodoks Syiria, Bambang Noorsena menulis bab berjudul “Bolehkah nama YHWH (TUHAN) diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain?”. Ia menulis.
“Sejak kitab suci Perjanjian Baru ditulis oleh para rasul Kristus, tetagram (keempat huruf suci YHWH, Yahwe) diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, Kyrios (TUHAN). Cara ini mengikuti kebiasaan Yahudi, yang juga diikuti oleh Yesus dan para Rasul-Nya yang biasanya melafalkan Yahwe dengan Adonai (TUHAN) atau ha shem (Nama segala nama)[28]
Dari sini nampak bahwa agama Yahudi mengalami problem ketuhanan dan problem juga dalam Kitab Sucinya, oleh karenanya, kaum Yahudi kesulitan untuk memastikan cara melafalzkan nama Tuhannya. Kaum Yahudi juga meyakini bahwa Tuhan mereka sebagai tuhan dalam bentuk jamak, dengan menyatakan Tuhan Elohim telah mengawini putri-putri manusia[29]. Selian itu, Tuhan juga diyahkini sebagai bapak dari Raja Yahudi[30].
Secara bertahap, kaum Yahudi menyadari bahwa Tuhan mereka bukan hanya satu tuhan di antara banyak tuhan. Tuhan mereka adalah satu-satunya Tuhan, dan “tuhan-tuhan” yang lain adalah hasil ciptaan manusia sendiri.[31] Dan Tuhan adalah bapak mereka dalam pengertian sesungguhnya (Hosea 1:10).[32] Dalam pandangan Yahudi Tuhan telah memilih mereka sebagai manusia pilihan. Karena dipilih untuk dijadikan istri Tuhan, maka mereka merasa memiliki kedudukan yang tinggi.
Dalam tradisi Ibrani, nama Yahweh dianggap bukan nama yang sebenarnya, melainkan berasal dari nama ehyeh atu hayah[33]. Dalam kitab Gerakan Nama Suci, Nama Allah ynag dipermasalahkan, Herlianto mengutip pernyataan Freedman, ternyata asal-usul nama Yahweh itun tidak jelas, akan tetapi, nama itu menunjuk kepada sumber dari tradisi kaum Median dan kaum Kenit[34].Dengann adanya dua kaum tersebut, maka juga ikut mempengaruhi keberagaman orang Israel, dan menyatakan bahwa nama yahweh berasal dari luar tradisi Ibrani.
Dari sini nampak bahwa nama Tuhan dalam tradisi Yahudi masih bersifat spekulasi. Sehingga banyak menimbulkan kontroversi diantara mereka. Karena nama Tuhan Yahudi masih problematik, maka kaum Yahudi ortodoks mengambil sikap untuk tidak menggunakan  kata Yahweh sebagai sebutan nama Tuhan mereka. Sebagai gantinya, Kaum yahudi Ortodoks menggunakan sebutan Adoney atau Ha syem. Akan tetapi penggunaan nama inipun masih problematik dan menimbulkan kontroversial. Sebabnya, kedua nama tersebut dalam pengucapannya terkadang  disamakan dengan Yahweh, atau Tuhan, dan pada beberapa tempat tertentu diartikan sebagai Tuan.  Sementara bila Adonay dimaksudkan berasal dari bahasa Yunani maka maknanya adalah Tuhan[35].
Dalam penyebutan nama Tuhan, ternyata, orang Yahudi tidak hanya menggunakan sebutan Adoney, Ha syem, ataupun Yahweh. Akan tetapi juga ada sebutan lain untuk Tuhan mereka, yaitu El/Elohim atau Eolah. Dalam tradisi Yunani, nama ini dapat digunakan sebagai nama diri atau nama generik. Kata El, dalam Al-Kitab Perjanjian lama digunakan untuk sebutan Tuhan orang Israel. Dalam The interpreters Dictionary of Bible, El digunakan sebagai sinonim Yahweh[36]. Adapun kata Elohim digunakan untuk menyebut nama diri Allah dalam bentuk jamak. Elohim kebanyakan digunakan untuk penyebutan gelar, sementara Eolah di artitikan sebagai God (Tuhan).
Menurut, Ellen Kristi, untuk mencari kejelasan tentang Yahweh, dapat ditelusuri dalam Al-Kitab Interlinier (terjemahan langsung) Ibrani-Yunani-Inggris. Dalam teks aslinya, kata Tuhan ternyata ditulis dalam empat huruf mati (tetramaton) saja. Yaitu YHWH.  Karena terdiri atas konsonan semua, tentu saja tetagramaton ini tidak dapat dibaca. Namun dari berbagai sumber informasi, nama tersebut ada yang membaca “Yahweh”, ada pula yang menyebut “Yehova”. Ada yang menyingkat sebutan Yahweh dengan “Yah”. Misalnya pada ungkapan “Haleluyah” (Terpujilah Yah)[37].
Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan tersebut, berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang bermacam-macam. Sebagai contoh, di negara Arab, umat kristen menyebut Tuhannya dengan “Alloh”, seperti orang Islam menyebutnya, di Barat umat kristen menyebut Tuhannya dengan “God” atau “Lord”. Dalam pandangan Noorsena, kata Allah, meskipun di lingkungan Kristen Arab tidak dipahami sebagai “nama diri”, sebutan ini begitu sentral kedudukannya dalam bahasa Arab. Jadi, karena dalam tradisi Kristen, Allah tidak dianggap sebagai nama diri (proper name), maka mereka diperbolehkan menyebut nama Tuhan dengan berbagai panggilan.
Lafadz Allah dalam tradisi Kristen bukan termasuk ismu dzat (nama diri). Buktinya, masih banyak perdebatan seputar nama Allah sebagai nama Tuhan dalam agama Kristen. Sebagai contoh, munculnya kelompok yang menamakan diri Gerakan Nama Suci (Sacred Name Movement)[38], dengan menolak pemakain kata Allah dalam Bible kemudian mengganti dengan nama Yahweh. Kelompok ini perpandangan bahwa nama Allah adalah bukan nama Tradisi Yudaik, akan tetapi nama itu adalah nama dewa orang Arab pada abad ke-7. Oleh karena itu, lafadz Allah yang ada dalam Al-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru harus diganti dengan Elohim atau Yahweh. Di Indoneisa, gerakan ini mengganti nama Allah dengan kata Elohim , kata Tuhan di ganti dengan Yahweh dan Yesus di ganti dengan Yesua Hamsyah[39].
Kristen, tidak hanya mengalamai problem nama Tuhan, tetapi juga mengalami permasalahan ketuhanan Yesus[40]. Dalam pemikiran Paulus[41], ia memperoleh suatu metafisik yang serius. Paulus berpandangan, setiap orang yang saleh, ia dapat menyatakan seperti apa yang dikatakan Yesus. Yaitu, Aku dan bapaku (Tuhan) adalah satu dalam pengertian keserasian total dalam kehendak Tuhan[42]. Para teolog Kristen pun tidak menolak pemikiran ini, bahkan menerima begitu saja semua unsur sebagai satu kesatuan yang transenden. Kitab kejdian 1:26 menyebut tiga pribadi dalam diri Tuhan.
 Konsep ketuhanan Kristen ini, kemudian mengalamai perubahan besar dan mendasar yang kemudian dalam konsili Nicea[43] 325 diputuskan mengenai identitas Tuhan Kristen. Tuhan bapak, anak dan ruhul qudus merupakn Tuhan Kristen yang merekaa sebut dengan Trinitas. Trinitas ini pun dikalangan mereka juga mengalami problem mendasar, yang kemudian lahirlah konsili konstantin pada 381. Dalam konsili ini diputuskan dan di evaluasi mengenai status Tuhan Kristen. Problem ketuhanan dalam Kristen terus menemukan problem yang misterius. 
Konsep Tuhan ala Kristen inilah yang ditentang oleh Islam. Sayyid Muhammad Behesthi mengatakan, “Al-Qur’an dengan tegas dan lugas mengatakan bahwa: tiada Tuhan selain Allah.  Konsep tauhid dalam Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa Tuhan Pencipta itu adalah Tuhan dari segala tuhan. Sedangkan dalam agama-agama lainnya keesaan Tuhan itu kadang tidak dinyatakan secara konsisten”.[44] Kekeliruan Yahudi dan Nasrani juga dengan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani mengatakan: ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.’” (Q.S. Al-Maidah: 18). Yang dimaksud dengan kalimat “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”, menurut Imam Ibnu Al-Jauzi adalah Uzair dan Isa a.s[45].
Bagi umat Islam, penyebutan nama Tuhan yang bersifat spekulatif tentu sangat bermasalah. Sebab, hal ini bisa mengaburkan konsep tauhid Islam. Penyebutan kata “Allah” di dalam Al-Qur’an menandakan bahwa penyematan nama untuk Dzat Yang Maha Kuasa haruslah bersumber dari Allah sendiri dengan sifat-sifat yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Berkenaan dengan al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka al-Qur'an dalam epistemologi Islam merupakan sumber informasi yang benar yang otoritatif (khabar shadiq)[46]. Dengan demikian Konsep Tuhan dalam Islam jels-jels sempurna, karena bersumber pada kitab suci yang otoritatif.

C.      Konsepsi Tuhan dalam Pluralisme Agama
Peradaban Barat dengan gelombang modernismenya, telah medekonstrusi Tauhid umat Islam. Melalui paham liberalisme yang berakar pada konsep relativisme dan skeptisisme[47], sebagian orang telah gemar dan gencar melakukan penelaahan ulang terhadap konsep-konsep yang fundamental dalam agama Islam. Kemudian membentuk arus baru dengan apa yang disebut sebagai pluralisme agama. Penganut Pluralisme agama berasumsi bahwa semua agama sama benarnya, sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. salah satu ‘penyakit’ yang disebar melalui paham ini adalah konsep mengenai Tuhan. John Hick misalnya, menggagas konsep “The Eternal One”, yaitu Tuhan yang menjadi tujuan semua agama. Apa pun jalannya tujuannya tetap satu. Begitulah John Hick berpandangan.
Penganut pluralisme agama menganggap bahwa  Konsep Tuhan agama tertentu, sama dengan konsep Tuhan dalam agama lain. Maka tak heran bila muncul pernyataan seperti: satu Tuhan tiga agama; semua agama dapat bertemu pada tataran esoterik; semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama; banyak jalan menuju Tuhan;  dan lain sebagainya. Padahal konsep Tuhan dalam Islam berbeda dengan agama-agama lain, bahkan juga berbeda dengan tradisi filsafat, budaya dan peradaban lain. Konsep Tuhan dalam Islam adalah unik dan berbeda[48]. Jadi , tidak tepat bila menyamakan konsep Tuhan dalam level transendent tidaklah tepat. Karena, pada level esoterispun, masing-masing agama memiliki konsep Tuhan yang eksklusif yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara agama satu dengan yang lain.
Pemikiran mengenai konsep Tuhan yang sama bisa jadi merupakan pengalaman individu-individu tertentu mengenai agama-agama. Namun, pengalaman tersebut bukanlah agama itu sendiri, karena pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia, namun hanya diraih oleh golongan tertentu. Jadi kesatuan transendent (transendent unity) seperti itu tidak dapat disebut “agama”, namun hanya merupakan pengalaman keagamaan.
Bagi kaum pluralis, nama Tuhan apapun tidak menjadi masalah, karena dalam pandangan mereka, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Oleh karenanya, tidak ada salahnya Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan ataupun yang lain. Salah satu Tokoh pluralisme agama adalah Prof. John Hick, yang menyatakan:

“Ketika kita mengunjungi berbagai tempat ibadat, kita akan menemukan para pemeluk agama datang ke tempat ibadat ma sing-masing untuk membuka pikiran mereka terhadap Realitas yang lebih tinggi, yang dipikirkan sebagai pencipta dan Raja alam semesta, dan sebagai pencipta moral yang sangat diperlukan dalam kehidupan tiap laki-laki dan wanita. Tentu saja pelaksanaaannya berbeda-beda. Yang lebih penting, wujud tertinggi dikenal sebagai Tuhan di Gereja Kristen, sebagai Adonai (Yahweh) di Sinagog Yahudi, sebagai Allah di Masjid orang Islam, sebagai Ekoamkar di Gurdwara Sikh, sebagaai Rama atau Krishna di Kuil Hindu. Tetapi ada satu pengertian penting dimana apa yang sedang dilaksanakan dalam beberapa bentuk pemujaan pada dasarnya sama”[49].

Selanjutnya, Menurut Hick, kesalahan umum yang dilakukan manusia sampai saat ini adalah meyakini bahwa Tuhan yang mereka ketahui melalui ‚kacamata-kacamata‛ tradisional dan kultural mereka –Yahweh, Trinitas, Allah, Krisna, Wisnu, Siwa dsb.– adalah Tuhan atau Realitas ketuhanan yang absolut, dan oleh karenanya merupakan titik pusat dan pangkal keselamatan satu-satunya. Padahal tidak demikian sebenarnya, karena Tuhan-tuhan tersebut, menurut hipotesa Hick, hanyalah gambaran dari Realitas ketuhanan yang Absolut yang Tunggal dan tak terbatas oleh segala macam ungkapan, konsepsi, dan pemahaman[50]. Oleh karena itu‚The Real‛ inilah yang menjadi sentra yang sebenarnya.

Munir Mulkhan juga menulis:
“...... Tuhan dan ajaran atau kebenaran yang satu yang diyakini pemeluk Islam itu bersifat universal. Karena itu, Tuhan dan ajaran-Nya serta kebenaran itu mungkin juga diperoleh pemeluk agama lain dan rumusan konseptual yang berbeda. Konsekuensi dari rumusan di atas bahwa Tuhannya pemeluk agama lain, sebenarnya itulah Tuhan Allah yang dimaksud dan diyakini pemeluk Islam. Kebenaran ajaran Tuhan yang diyakini pemeluk agama itu pula sebenarnya yang merupakan kebenaran yang diyakini oleh pemeluk Islam[51].

....Tuhan yang Maha Tunggal itu adalah Tuhan yang diyakini pemeluk semua agama di dalam beragam nama dan sebutan. Surga dan penyelamatan Tuhan itu adalah surga dan penyelamatan bagi semua orang di semua zaman dalam beragam agama, beragam suku bangsa, dan beragam paham keagamaan. Melalui cara ini, kehadiran Nabi Isa a.s. atau Yesus, Muhammad saw., Buddha Gautama, Konfusius, atau pun nabi dan rasul agama-agama lain, mungkin menjadi lebih bermakna bagi dunia dan sejarah kemanusiaan...”[52]

Pernyataan yang menyatakan bahwa semua agama menyembah pada Tuhan yang sama adalah rancu. Apalagi menyamakan Tuhan Allah dengan Tuhan agama lain. Karena, semua agama yang ada mempunyai sebutan Tuhan yang berbeda-beda dikarenakan konsep Tuhannya memang berbeda. Di kalangan Kristen dan Yahudi, tidak ada penyebutan Tuhan secara khusus karena mengalami problem perdebatan yang tiada habisnya. Agama lain seperti: Hindu; Budha; Khonghucu; juga tidak menggunakan sebutan Tuhan mereka ‘Allah’. Adapun Kaum kristen Arab memakai sebutan Tuhannya Allah seperti halnya dalam agama Islam. Namun itupun yang dimaksud adalah Tuhan Injil yang tidak semua umat Kristen sepakat memakainya.
Pandangan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, tidak dapat dibenarkan. Sebabnya, dalam Kristen, nama Tuhan masih spekulatif dan problematik. Bahkan dalam Ajaran Kristen pun sudah menyatakan tidak ada keselamatan di luar gereja (“extra ecclesiam nulla salus”). Sikap Eksklusif Kristen ini  juga dinyatakan oleh Martin Forward, dalam bukunya Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions, bahwa “The exclusivist maintains that salvation is given only to those who make an explicit commitment to Jesus Christ[53].
Dalam pandangan Islam, jalan menuju Allah hanya satu, yakni Islam, dengan mengikrarkan syahadat Islam (“Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah”).  Jadi tidak ada jalan lain menuju Allah kecuali Islam. Jika mengakui jalan agama samawi lainnya yang telah diselewengkan, tidak mungkin  seorang mufassir dan sahabat Nabi Muhammad saw. sekaliber Ibnu Abbas, mengatakan: “Bagaimana mungkin kamu boleh bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu perkara, sedangkan Kitab kamu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw ini lebih baru. Bacalah ini saja, dan tidak perlu ditambah-tambah[54].
Islam tidak memiliki problem penyebutan Tuhan. Sebab, Konsep Tuhan dalam Islam sudah  otentik dan orisinil. Konsep Islam tentang Tuhan ini telah mematahkan konsep ketuhanan agama Yahudi, kristen yang bersifat spekulatif dan problematik. Begitu juga Tuhannya penganut pluralisme agama yang masih dalam keraguan. Umat Islam diseluruh dunia sudah sepakat untuk menyebut nama Tuhannya dengan Allah. Terdapat asumsi yang kuat bahwa memang Allah telah mengenalkan namanya kepada para nabi dan Rasulnya dengan sebutan ‘Allah’. Sebagimana, ketika Allah hendak memberi wahyu kepad nabi Musa a.s. dengan firmannya:
Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci, Thuwa. Dan aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.
Konsep Tuhan dalam Islam yang sudah final ini,disetuji oleh pakr sejarah Karen Amstrong. Ia menyatakan bahwa umat Islam tidak mengalami problem mendasar tentang konsep ketuhanannya. Konsep ini mengesampingkan praduga-praduga (dzanna) yang tidak bisa dibuktikan, yang berebda dengan konsesi ketuhanan agama lain[55]. Dikarenakan Islam memiliki metode yang khas tentang konsep Tuhan, maka tidak ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin dalam menyebutnya.  Untuk memanggil nama-Nya, telah diajarkan oleh Rasulullah saw. secara turun temurun sampai kepada kita dengn sanad yang bersambung sampai kepada Allah. Nama tersebut juga dihaal oleh para hufadz (penghafal al-Qur’an) sehingga konsepsi keagamaan selalu terjaga dengan baik.
Jadi, konsep Tuhan dalam Islam yang otentik dan final dan didasarkan atas wahyu, telah mematahkan asumsi-asumsi konsep-konsep ketuhanan agama lain yang masih problematik. Lafadz “Allah” yang merupakan nama Tuhan, sudah ada sejak zaman arab Pra-Islam. Lafadz tersebut juga yang dipakai Allah untuk mengenalkan diri-Nya kepada makhluknya. Adapun Konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan dalam al-Qur’an yang tergambar dalam syahadat tauhid “Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah” (tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Wallahu ‘A’lam Bi As-Shawab.








Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim
Al-Kitab, Lembaga Alkitab Indonesia, (1999)
Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005)
Ahmad Syalabi, muqaranatu al-Adyan, (terj. Perbadingan Agama; Agama Yahudi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991)
Al-Raghib al-Asfahani, bab wahyu. Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1415 H/1995 M)
Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogyakarta: Andi, 205)
Donald M. Borchert, Editor in chief, Encyclopedia of Philosophy, Second Edition, Volume 9, (MacMillan Reference USA, 2006)
Ellen Kristi, Yesus Kristus Bukan Allah Tapi Tuhan, (Demak: Borobudur Indonesia Publising, 2009)
Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011)
Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual, (Singapore: Lisan ul-Haq,1998)
Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Riverhead Books, 2005)
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994)
Herlainto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang dipermasalahkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)
Isma'il Raji Al-Faruqi, Al-Tawhid. Cetakan IV. The International Institute of Islamic Thought, (Herndon USA, 1992)
John Hick, God Has Many Name
Khafrawi Ridwan, MA,  Ensiklopedia Islam, (Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997)
Karen Armstrong, Perang suci: dari perang salib hingga perang teluk, Penerbit Serambi (Jakarta, Oktober  2003)
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2001)
Martin Forward, Inter-Religious Dialogue: A Short Introduction (England: Oxford, 2007)
Muhammad kamil Hasan Al-Mahami, Al-Maushu’ah al-Qur’aniyyah (terj. Ahmad Fawaid Syadzili; Ensiklopedi Al-Qur’an), (Jakarta Timur: Kharisma Ilmu, 2005)
M. I Ananias, Evolusi Kristen (Yogyakarta: Gelanggang, 2008)
Sayyid Muhammad Husayni Behesthi, Selangkah Menuju Allah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002)
Syed Muhammad  Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphisics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)
The interpreters Dictionary of Bible,Vol. II, (Nashville: Abingdon Press, 1989)
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhn dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)
Jurnal Islamia, Thn II No 5 April-Juni 2005





[1] S.M. Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphisics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), p. 7.
[2] Ibid, p. 5.
[3] Isma'il Raji Al-Faruqi, Al-Tawhid. Cetakan IV. The International Institute of Islamic Thought, (Herndon USA, 1992). P. 3
[4]
[5] Q.S. Muhammad: 19
[6] Q.S. Thaha:13-14
[7] Secara bahasa kata wahyu memiliki beragam makna. Diantaranya adalah, berbicara secara sembunyi, isyarat atau memberi tanda, memberi informasi secara cepat, memberi informasi secara tertulis atau menuliskan sesuatu dan memberi ilham[7]. Dengan definisi etimologis tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian informasi wahyu tersebut dapat disampaikan dalam tiga bentuk, yaitu melalui komunikasi oral, melalui isyarat panca indera, melaui suara dan  melalui tulisan[7]. Secara terminologis, Ibnu Mandzur mendefinisikan, wahyu adalah pemberian informasi yang tersembunyi yang khusus disampaikan kepada para nabi Allah SWT. Lihat, Ibnu Mandzur, Lisanul Arab bab wahyu. Sementara, definisi syari’ah  mengatakan, bahwa wahyu adalah kalam Allah SWT yang khusus disampaikan kepada para nabi-Nya. Wahyu didefinisikan sebagai pemberitahuan Allah SWT kepada para Nabi-Nya tentang pesan-pesan Ilahi berupa syari'at dan berita-berita  lain secara sembunyi – yang tidak biasa dialami oleh manusia biasa. Lihat,  Al-Raghib al-Asfahani, bab wahyu. Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1415 H/1995 M), p.55.
[8] Q.S. Al-Isra’: 70
[9] H.R. Muslim, Ibn Majah, dan al-Tirmidzi.
[10] H.R. al-Tirmidzi, al-Darami, Ibn Majah, Ahmad
[11] Khafrawi Ridwan, MA,  Ensiklopedia Islam, (Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997), p. 123-124
[12] Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011)
[13] Ibid
[14]  Ism Jamid adalah kata benda yang tidak berasal dari kata lain.
[15] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘A’dzim Juz 1 (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994), p.40
[16] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhn dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), p. 105.
[17]  Lihat, Q.S. 29: 61,63; Q.S. 31:25; Q.S.39:38; Q.S.43:9,87; Q.S.13:17; Q.S.16:53; dan  Q.S. 29:65
[18] Khafrawi Ridwan. Ensiklopedia Islam, (Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997), p. 123-124
[19] Muhammad kamil Hasan Al-Mahami, Al-Maushu’ah al-Qur’aniyyah (terj. Ahmad Fawaid Syadzili; Ensiklopedi Al-Qur’an), (Jakarta Timur: Kharisma Ilmu, 2005), p. 20-21
[20] Ibid
[21] Weech, Civilization of the Near east, p. 84 dan 85 dalam Ahmad Salabi, Muqaranatu al-Adyan, (terj. Perbandingan Agama; Agama Yahudi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 171
[22] Samiri adalah kaum Bani israil dari suku Assamirah. Patung sapi yang dibuat Samiri dibuat dari segenggam tanah bekas jejak telapak kaki kuda Jibril as, lalu tanah itu dilempar ke dalam logam, dan dibuatlah sapi yang bisa mengeluarkan suara.
[23] Untuk kisah lebih jelasnya bisa dilihat  dalam QS. Thaha 85-98
[24] Wiil Durant, Qishash al-Hadlarah, Juz 2 p. 339
[25] Bible kitab Raja-Raja (18): 4
[26] Ahmad Syalabi, muqaranatu al-Adyan, (terj. Perbadingan Agama; Agama Yahudi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 172
[27] Lihat, Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Riverhead Books, 2005), p. 127.
[28] Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogyakarta: Andi, 205), p. 23.
[29] Kitab Kejadian Lama, 6:2, 4
[30] Masmur 2:7, 89: 26, Samuel II, 7: 24
[31] Karen Armstrong, Perang suci: dari perang salib hingga perang teluk, Penerbit Serambi (Jakarta, Oktober  2003), hal. 30
[32] Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka Bandung: 1988), p. 20
[33] Ahmad Syalabi, Muqaranatul al-Adyan, (terj. Perbandingan Agama; Agama Yahudi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 172
[34] Herlainto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang dipermasalahkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), p. 98
[35] Ibid., p. 102
[36] The interpreters Dictionary of Bible,Vol. II, (Nashville: Abingdon Press, 1989), p. 411-412.
[37] Ellen Kristi, Yesus Kristus Bukan Allah Tapi Tuhan, (Demak: Borobudur Indonesia Publising, 2009), p. 19
[38]  Sacred Name Movement adalah orang-orang kristen yang terpengaruh tradisi Yahudi. Berdiri pada Tahun 1930 di Amerika Serikat, misi utamanya adalah mengembalikan ajaran kristen kepada akar Yudaik (Hebraic Roots Movement), seperti dalam hal ritual dan penyebutan nama Tuhan, yaitu menyebut nama Tuhan dengan Yahweh
[39] Lebih jelasnya, lihat Herlianto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang dipermaslahkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), p. 93.
[40] Yesus, bagi kaum Kristen adalah Tuhan sebagai penyelamat bagi manusia. Untuk mennguatkan  klimnya, bahwa Yesus itu Tuhan umat Kristen menggunakan banyak sekali ayat-ayat Bible. Diataranya adalah ayat-ayat menceritakan mukjizat Yesus, seperti (1) Yesus menyembuhkan penyakit kusta (Matius 8: 1-4; Markus 1:40-42; dan Lukas 5: 12-130; (2) Yesus menyembuhkan hamba seorang perwira (Matius 8: 5 dan Lukas 7:1-10); (3) Yesus menyembuhkan orang lumpuh (Matius 9: 1-8; Markus 2: 1-12 dan Lukas 5:17-26); (4) Yesus menyembuhkan orang buta (Matius 9:27-31; 20:29-34; Markus 8:22-25; 10: 46-52; Lukas 18:35-43 dan Yohanes 9:1-7); (5) Yesus membangkitkan orang mati (matius 9: 18-26; Markus 5:22-24; 35-43, dan Lukas 8: 41-42). Menurut umat kristen ayat-ayat tersebut menjadi dasar bahwa Yesus itu Tuhan.
[41] Paulus adalah seorang Yahudi dari suku Benyamin beraliran farisi dn Saduki-aliran Yahudi yang sangat keras memusuhi Yesus. Lahir di Kilikia dan menjadi Warga negara Romawi, konon ia tidak pernah bertemu Yesus, karena ia hidup beberapa tahun setelah Yesus ghaib. Lihat kisah lengkapnya pada Kodiran Salim, Paulus merombak ajaran Yesus? (Jakarta: Ulil Albab Pusat Kajian Independen Lintas Kitab Suci, tanpa tahun), p. 53-55. Sebelumnya Jemaat awal Kristen konon masih menyembah Allah yang Esa dan masih menganggap Yesus sebagai utusan Allah. Ketika konsili berlangsung pun terjadi tarik menarik antara kelompok Gereja untuk memutuskan apakah Yesus itu benar-benar Tuhan, anak Tuhan atau seorang Rasul. Kelompok Gereja yang keras menentang keilahian Yesus adalah kaum Arianisme (kelompok Gereja Timur yang meyakini Yesus adalah seorang nabi dan manusia biasa yang mendapat  wahyu dari Allah.Dalam sidang tersebut berjalan alot (yang memakan waktu dua minggu). Pada sidang tersebut terjadi polarisasi aliran Gereja, yang menentang ketuhanan yesus diwakili oleh kelompok Arian dn yang mendukung keilahian Yesus disebut anti-Arianisme dipimpin uskup Athanasius dan Alexander yang kemudian dimenangkan anti-Arianisme berdasarkan voting. Lihat, M. I Ananias, Evolusi Kristen (Yogyakarta: Gelanggang, 2008), p. 248-249.
[42] Karen Armstrong, Perang suci: dari perang salib hingga perang teluk, (Jakarta: Penerbit Serambi, 2003) , hal. 3
[43]  Konsili Nicea adalah konsili oikumenis (mewakili gereja seluruh dunia), Nicea merupakan nama sebutan kota yang sekarang bernama kota inzik Turki. Konsili ini dihadiri oleh sektar 2000 tokoh Gereja. Sekitar 250 di antaranya adalah uskup yang berasal dari Romawi, selebihnya adlah para pendeta dari daerah lain yang kedudukannya di bawah uskup. Keputusan penting konsili ini adalah memutuskan ketuhanan Yesus yang disebut dengan Syahadat Iman Nicea. 
[44] Sayyid Muhammad Husayni Behesthi, Selangkah Menuju Allah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), p.139.
[45] Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual, (Singapore: Lisan ul-Haq,1998), p. 31.
[46] Khabar shadiq adalah sumber ilmu dalam Islam. Ia adalah informasi benar yang memiliki otoritas. Imam al-Nasafi menejelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua. Pertama, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dari banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta, dan oleh Karena itu merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya. Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan Rasul SAW yang diperkuat dengan mu'jizat. Informasi jenis ini bersifat istidlaliy. Lihat Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA Thn II No 5 April-Juni 2005.
[47] Skeptisisme berasal dari bahasa Yunani ‚skeptesthai‛ yang berarti menguji, menyelidiki, mempertimbangkan. Ia merupakan pandangan filosofis yang mengatakan bahwa mustahil bagi manusia untuk mengetahui segala sesuatu secara absolut.7 Kaum skeptis selalu meragukan setiap klaim pengetahuan, karena memiliki sikap tidak puas dan masih mencari kebenaran. Lihat, Donald M. Borchert, Editor in chief, Encyclopedia of Philosophy, Second Edition, Volume 9, (MacMillan Reference USA, 2006), hlm. 47
[48] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena......, p.7
[49] John Hick, God Has Many Name, p.40
[50] John Hick berkali-kali mengulang analisis Kantiannya ini di berbagai karyanya, lihat misalnya: Hick, Philosophy of Religion, hlm. 118-121; ---------, ‘Religious Pluralism’, hlm. 159-164; ---------, Problems of Religious Pluralism, hlm.39-44; ---------, An Interpretation of Religion, hlm. 240; ---------, ‘The Real and Its Personae and Impersonae,’ hlm. 143-58.
[51] Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005), p.
182-183
[52] Ibid, p. 190
[53] Lihat Martin Forward, Inter-Religious Dialogue: A Short Introduction (England: Oxford, 2007),
hal. 39
[54] Lihat Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual, (Singapore: Lisan ul-Haq,1998), p. 31.

[55] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan (terj), (Bandung: Mizan; 2001), p. 199-200