A. Pendahuluan
Konsep
Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari konsep
Tuhan tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain,
seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep alam, konsep manusia,
konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang
lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan
mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.
Tuhan
dalam Islam adalah Haq dan final. Tuhan dalam Islam, telah disepakati
penyebutannya oleh umat Islam dengan sebutan Allah. Kesepakatan tersebut
berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang dijelaskan dalam banyak ayatnya. Tidak
ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan lafadz
Allah untuk menyebut nama Tuhannya.
Lafadz Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung
yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Selain bermakna
kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa lafadz
Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk
kekurangan. Dalam konsepsi Fakhruddin Al-Razi Allah merupakan Tuhan yang mutlak, Maha Sempurna dan berbeda
sama sekali dengan ciptaan-Nya.[1]
Tulisan ini akan menjelaskan konsep Allah menurut Fahruddin ar-Razi. Ruang
lingkup pembahasan ini meliputi, nama dan sifat Allah
C. Tentang nama Allah
Untuk
memahami konsep Allah menurut Fahruddin ar-Razi, metode yang paling membantu
adalah dengan menyimak tafsirannya ketika berinteraksi dengan kata ini. Basis
dari segala pandangan teologisnya, berporos dari caranya menafsirkan dan
menginterpretasikan lafadz Allah.
Secara etimologi, Allah adalah nama Arab[2].
Asal dari lafadh Allah menurut imam ar-Razi adalah al-Ilah. Lafadz
tersebut terdiri dari enam huruf, namun kata ilah tersebut ketika
diganti dengan perkataan Allah tinggal empat huruf dalam tulisan, yaitu hamzah (أ), dua lam (لل), ha’(ه)[3],.
Allah swt. (Allah merupakan kata agung (lafadz
al-jalalah) merupakan nama diri (ism al-dzat) Tuhan, nama esensi dan
totalitas-Nya. Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, imam Ar-Razy juga menyebutkan bahwa Allah adalah al-ismu
al-A’dzam.[4]
Menurut
imam Ar-Razi, lafadz Allah tersebut tersusun dari empat huruf. Jika
huruf pertama alif dihilangkan,
tiga huruf lainnya menjadi simbol alam
semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunya) dan langit gaib
di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga;
akhirat (akhirah) . Huruf pertama, “alif”, merupakan sumber
segala sesuatu, dan huruf terakhir, “hu” (Dia), adalah sifat Allah yang
paling sempurna, Yang Maha Suci dari semua sekutu[5].
Sedangkan secara terminologi, Menurut Imam
Ar-Razi, Allah adalah dzat yang paling mulia secara mutlak. Allah merupakan
nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada
kemuliaan dan keagungan Tuhan[6]. Allah merupakan Tuhan alam semesta, Tidak ada sekutu
baginya, Tidak ada bandingannya, dan tidak ada yang menyerupainya[7]. Senada
dengan imam Ar-Razi, dalam konsepsi Ibnu Katsir, Allah adalah nama diri al-ismu al-a’dhamu’. Allah juga
merupakan nama yang khusus dan tidak ada sesuatu pun yang memiliki nama itu
selain Allah Rabb al- “Alamin (Tuhan seluruh alam semesta)[8].
Dari pengertian tentang lafadz Allah tersebut
dapat ditegaskan bahwa Allah betul-betul nama diri (proper name) dan
Tuhan seluruh alam semesta. Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya juga telah
menjelaskan bahwa Allah adalah al-Ismu al-Jamid (kata benda yang tidak
berasal usul dari kata lain). Terkait dengan hal ini, Imam syafi’i, Imam
Haramain, dan Imam al-Ghazali juga berpendapat bahwa lafadz Allah adalah isim
(kata benda) yang tidak memiliki akar kata, artinya, bukan isim musytaq
yang memiliki akar kata.[9]
Karena
lafadz Allah merupakan nama diri (proper name) maka, umat Islam
dimanapun berada, tidak akan pernah mendapti problem nama Tuhan. Hal ini
dikarenakan nama Allah telah ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu
al-Qur’an,
lafdhan wa ma’nan dari Allah , Shalih fi kulli zaman wa makan,
dan tidak ada keraguan di dalamnya, Dan bukan berdasarkan tradisi ataupun
budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak
mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah
final sejak awal
Allah sebagai nama Tuhan dalam Islam, memiliki
nama-nama yang indah yang tertulis dalam
al-Qur’an. Sebagaimana firman-Nya “walillahi al asma’ul husna fad’uhu biha” (Hanya
milik Allah al-Asma’ al-Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutkan
al-Asma’ al-Husna).[10]
Disini dijelaskan bahwa nama-nama Allah itu banyak tapi yang diberi nama hanya
satu. Dia adalah Allah swt. Dalam ayat tersebut juga di jelaskan bahwa ada
perintah untuk memanggil (berdo’a) dengan menyebut nama Allah. Maka dalam hal
ini nama menjadi alat untuk memanggil, dan yang dipanggil adalah Allah.
Terdapat ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan
bahwa konsep Allah adalah nama diri (proper name) dapat kita kaji dari surat At-Thahaa ayat 14:
Artinya: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang
haq) selain Aku.
Menurut penafsiran Ar-Razi, lafadh laa
ilaaha anaa, merupakan kalimat yang menunjukkan kepada istbat
(ketetapan) Allah. Dan tidak pantas menyandangnya kecuali diri-Nya.[12]Ungkapan
“tiada tuhan selain-Ku” mengisyaratkan pengetahuan pokok[13].
D.
Makna “Laa
Ilaaha Illallaah”
Konsep
Allah dalam pandangan ar-Razi telah dirumuskan dalam al-Qur’an yang tergambar
dalam syahadat Laa ilaaha illallaah. Dalam menjelaskan makna syahadat tersebut,
Fahruddin ar-Razi membahas secara khusus dalam kitab Ajaib al-Qur’an.
Menurutnya, Laa ilaaha illallah disebut sebagai kalimat tauhid, karena
menunjukkan peniadaan sekutu Allah secara mutlak. Dikatakan secara mutlak
karena ketika Allah berfirman, “Tuhanmu adalah tuhan yang satu,”[14]
bisa saja terlintas dalam pikiran seseorang bahwa Tuhan kami adalah satu,
sementara Tuhan orang lain, berbeda dengan Tuhan kami. Dugaan semacam ini menurutnya
lenyap lewat penjelasan tauhid secara mutlak. Allah berfirman, “tiada Tuhan
selain dia.”[15]
Dalam menjelaskan Ayat “Tiada Tuhan selain
Dia” tersebut , imam Ar-Razi menggambarkan, ketika kita berkata, “Tidak ada
orang dirumah,” berarti kita menidakan esensinya. Ketika esensinya tidak ada,
maka semua bagainnya juga tidak ada. Seandainya salah satu bagiannya ada,
berarti esensinya ada. Sebab setiap bagiannya mencakup esensi tersebut. Jika
esensinya ada, itu bertentangan dengan peniadaan esensi. Jadi ungkapan, “tidak
ada orang di rumah,” berarti peniadaan secara total. Kalau sesudah itu
disebutkan kecuali Zayd, berarti pengesaan secara total[16].
Berarti Tiada Tuhan selain Allah memberikan makna pengesaan secara total.
1.
Posisi
Kata “Allah”
Selanjutnya, dalam menjelaskan kalimat tauhid
tersebut, imam Ar-Razi menjelaskan kedudukan lafadz “Allah”. Lafadz
tersebut dalam kajian ilmu nahwu berkedudukan ‘marfu’. Sebab, ia badal
(pengganti) dari posisi kata “Laa” dan nominanya. Sebagai penjelasannya,
jika ada ungkapan, “Ma ja’ani rajul illa Zayd (Tidak ada seorangpun
mendatangiku kecuali Zayd)”, disini kata Zayd berbentuk marfu’ karena
badal tadi. Dalam konteks ini bagian pertama diabaikan, sedang yang dilihat
adalah bagian keduanya. Dengan demikian asumsi dari kalimat diatas, “Ja’ani
Zayd (Zayd mendatangiku).” Ini sangat logis karena kalimat diatas menafikan kedatangan siapapun, kecuali
kedatangan Zayd. Adapun ungkapan, Ja’ani al-qawm illa Zayd (Semua orang
datang kecuali zayd)”, disini badal tidak bisa diberlakukan. Sebab asumsinya, Ja’ani
illa Zayd (datang kepadaku kecuali Zayd).” Artinya semau orang datang
kepadanya kecuali Zayd. Ini mustahil. [17].
2.
Masud
“Illa”
Berkaitan dengan makna kata “illa” pada
kalimat Laa ilaaha illallaah., kata “illa” menurutnya bermakna ghayr
(selain) dan bukan bermakna kecuali. Sehingga asumsinya menjadi laa ilaaha
ghayr Allah. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Seandainya di langit dan
di bumi ada tuhan-tuhan lain selain Allah, pasti akan rusak[18].”
Kata illa disini diasumsikan bermakna ghayr (selain). Alasannya,
kalau kata illa diartikan sebagai pengecualian, maka kalimat laa
ilaaha illallah menurutnya tidak murni sebagai kalimat tauhid. Sebab,
asumsi kalimat tersebut menjadi: laa ilaaha yustatsna ‘anhum Allah (
tiada tuhan terkecuali dari mereka (tuhan-tuhan itu) Allah). Artinya semua
tuhan dinafikan, sementara Allah sebagai pengecualian. Jadi kalau kata illa
diartikan sebagai pengecualian, maka ungkapan laa ilaaha illallah bukan
tauhid yang murni. Hal ini karena para ulama sepakat bahwa kalimat tersebut
berisi tauhid murni. Dengan demikian, menurut imam Ar-Razi, kata illa
harus diartikan dengan ghayr agar makna kalimatnya menjadi laa ilaaha
ghayr Allah (tiada tuhan selain Allah)[19].
Selain merupakan kalimat tauhid, lafadz “Laa
ilaaha illallah” juga berfungsi sebagai nafyu (penegasian) dan itsbat
(afirmasi). Dalam hal ini penegasian lebih didahulukan daripada penetapan wujud
Allah. Alasannya, menurut imam ar-Razi, pertama, meniadakan sifat Tuhan
dari selain-Nya dan kemudian diikuti dengan menetapkan sifat tersebut untuk-Nya
lebih kuat daripada langsung menetapkan tanpa
meniadakan selain-Nya. Kedua, “tiada tuhan selain Allah”
berfungsi mengeluarkan segala sesuatu selain Allah dari kalbu. Sehingga tatkala
kalbu telah kosong dari yang selain Allah, lalu terlintas di dalamnya kekuasan
Allah, cahayanya akan bersinar terang dan kekuasaan-Nya akan tampak secara
sempurna, Ketiga, penegasian yang diperoleh melalui kala “la” (tiada)
berkedudukan seperti thaharah (bersuci). Sementara penetapan wujud
dengan kata kata “illa” (selain) berkedudukan seperti thaharah
dalam shalat. Jadi “laa ilaaha” harus lebih didahulukan dari pada “illa
Allah”[20].
Dengan demikian, lafadz laa
ilaaha illallah tersebut merupakan perkara pokok (ushul).
Dengan memahami hakekat kalimat tauhid tersebut, berarti sebagai umat Islam
telah mengesakan Allah secara total. Karena sumber pokoknya adalah keutamaan
sejati (yaitu ketauhidan), maka tak aneh jika kemudian lafaz laa illaaha
illallah juga menempati posisi istimewa. Ketika kita telah mendeklarasikan
keyakinan kita hanya pada Allah semata, maka harus menafikan ilah ilah
yang lain sembari meneguhkan keyakinan bahwa hanya ada satu ilah, yaitu
Allah swt.
Dalam masalah ketuhanan, Mu’tazilah menganut
prinsip bahwa Allah adalah Esa, sebagaimana kelompok salaf memahaminya. Namun dalam hal sifat Tuhan,
kelompok Mu’tazilah, terutama yang dimotori oleh Wasil Bin Atha’[23] memiliki doktrin bahwa, mereka menolak adanya
sifat-sifat Allah seperti al-Ilmu, Qudrah, Iradah, Hayat.
Bagi wasil, mustahil ada dua Tuhan yang qadim dan yang azali.
Katanya, siapa yang mengakui adanya sifat qadim pada dzat Allah
maka ia mengakuinya adanya dua Tuhan.[24] Sehingga makna peng-esaan dan pensucian bagi
aliran Mu’tazilah ialah meniadakan semua sifat-sifat Allah.
Penolakan terhadap sifat-sifat Allah inilah
yang membedakan Mu’tazilah dengan kebanyakan ulama salaf terutama kalangan
Asy’ariyah, seperti halnya imam ar-Razi yang meneguhkan bahwa Allah memiliki
sifat Maha Kuasa (al-Qudrah), Maha Mengetahui (al-Hayah), Maha Berfirman
(al-Kalam), Maha Mendengar (al-Sam’u), dan Maha Melihat (al-Basar).[25]
Tuhan, sebagaimana yang diungkapkan oleh
al-Qur’an yang terletak dalam surah al-Ikhlas adalah Maha Esa, Dia tidak
beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada yang menyerupai dengan-Nya[26]. Terkait
dengan hal ini, Fahrudin ar-Razi mejelaskan dalam kitabnya Asas at-Taqdis,
bahwa makna Allahu Ahad, berarti bahwa Allah itu tidak membutuhkan kepada
selain-Nya. Kemudian setiap yang murokkab (tersusun) membutuhkan kepada
setiap yang satu dari bagian-baginnya. Berarti setiap yang murokkab
membutuhkan kepada yang lainnya.[27]
Lafadz “Allahu Ahad” juga menunjukkan peniadaan jismiyah, tempat
dan arah. [28]
Selain imam Ar-Razi, Ibnu Taymiyah, juga
menafsirkan makna yang terkadung dalam surat al-Ikhlas, menurutnya, Tuhan
adalah Esa, artinya bahwa Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Argumen
selanjutnya, jika sesuatu yang secara sendirian melahirkan, maka seharusnya ada
sesuatu yang keluar darinya. Apabila ada sesuatu yang bersandar pada yang lain,
maka sudah tentu membutuhkan tempat. Keadaan yang semacam ini ditolak dengan
firman-Nya “Allahu Ahad”. Hal ini karena Yang Maha Esa itu ialah yang
tiada sesuatu pun yang setara dengan-Nya dan tidak ada bandingan-Nya.[29] Dan Dia berbeda dengan ciptaan-Nya (mukhalafatu
lil hawadits)[30].
Sebagai Tuhan yang Esa, kewujudan-Nya mesti
berbeda dengan kewujudan yang lain dan semua bentuk persamaan antara Tuhan
dengan ciptaan-Nya. Prinsip akidah yang dikenali sebagai tanzih ini
merupakan asas penting dalam faham ketuhanan dalam Islam yang membedakannya
dari teologi agama-agama yang berasaskan politeisme[31].
Ia berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang jelas menyatakan tentang keunikan sifat
dan hakikat Tuhan dari yang lain seperti ayat “Tidak ada sesuatupun yang
menyamai-Nya (laysaka mithlihi shay’),”[32]
“Tidak ada pada-Nya sesuatu yang setara dengan-Nya (wa lam yakun lahu
kufuwan ahad).”[33]
Dalam mentafsirkan ayat-ayat tersebut, al-Razi
menjelaskan bahwa prinsip tanzih ini tidak boleh ditolak karena
ayat-ayat yang mendukungnya merupakan
ayat-ayat mempunyai makna yang sudah jelas dan muhkamat (tetap) dalam menggambarkan
perbedaan Tuhan dengan makhluk.[34]
Oleh karena itu ayat-ayat tersebut maknanya tetap dan tidak bisa
dipermasalahkan dengan berbagai bentuk pentakwilan. Disinilah pentingnya imam
ar-Razi meletakkan aspek tanzih sebagai salah satu dari sifat-sifat
wajib Tuhan, yang termanifentasi dari ungkapan mukhalafatu li al-hawaditsi
(berbeda dengan yang diciptakan).
Dalam memperkuat lagi aspek tanzih,
al-Razi memberikan penjelasan berdasarkan hujah falsafah dan logika:
Pertama, Tuhan merupakan satu-satunya kewujudan yang
tidak mempunyai bentuk persamaan (matsil) atau penyerupaan (sabhih). Tidak ada genus, seperti yang
diuraikan dalam ilmu mantiq, yang dikenakan kepada Tuhan karena Tuhan tidak
boleh dikelompokkan dalam macam-macam jins (genus) yang
dibawahnya terkandung naw’ (species) sebagaimana sifat-sifat makhluk
yang lain. Bila pun ada persamaan antara Tuhan dan makhluk, sebagaimana yang
terdapat dalam istilah sifat ilmu, hayat, sama, dan bashar, ini hanyalah
persamaan dari segi bahasa (al-isthirak al-lafdzi).[35]
Kedua, penekanan ayat-ayat diatas membuktikan bahwa
setiap sifat Tuhan adalah berbeda secara dzatiah (esensi) dengan sifat
makhluk. Ini bermakna perbedaan antara Tuhan dengan makhluk adalah perbedaan
mutlak dalam arti bahwa tiada satupun aspek yang boleh disamakan antara
kedua-duanya.
Ketiga, betitik tolak dari prinsip ini juga, Tuhan
juga tidak boleh disamakan dengan benda-benda yang bersifat jisim karena
itu akan mengandaikan bahwa Tuhan boleh dibagi (murakkab) sebagaimana
setiap jisim terbagi-bagi. Setiap benda yang terbagi, maka setiap
bagiannya memerlukan satu dengan yang lain.
Keempat, Tuhan juga tidak boleh dikatakan menempati
ruang, karena bila menempati ruang sama saja mengatakan bahwa Allah itu bertempat sedangkan bertempat juga merupakan salah satu
ciri benda yang berjisim. Tempat juga merupakan sesuatu yang mempunyai ukuran
tertentu, begitu juga dengan jisim. Sementara jisim merupakan
sesuatu yang mempunyai ukuran tertentu,
batasan-batasan tertentu dan sebagainya yang mengambil ruang dan tempat.
Terhadap hal yang demikian, Maha Suci Allah swt. Dari yang bertempat dan
berjisim. Karena wujud Allah itu tidak berjisim, bertempat dan mempunyai Arah.
Penjelasan
al-Razi mengenai penegasian aspek tajsim merupakan respon
terhadap pandangan golongan Mushabbihah dan Mujassimah terutama
golongan Karamiyah[36].
Golongan ini bisa dikatakan terpengaruh dengan pemikiran agama lain seperti
Yahudi dan Nasrani dan juga paham animisme[37]
yang dibawa dari budaya dan keagamaan lama mereka. Beberapa tokoh Syi’ah
seperti Hisham bin Hakam berpandangan bahwa Tuhan mempunyai ukuran dan panjang,
bahwa panjang tuhan adalah tujuh depa tangan manusia sementara Abu al-Hudhayl
mengatakan bahwa Tuhan tidak lebih besar dari Jabal Qubays di Mekah.[38] Adapun
golongan Karramiyyah berpandangan bahwa Tuhan boleh ditunjuk dengan
arah, Tuhan ada di atas dan juga dibawah.[39]
Secara khusus, hujah-hujah al-Razi adalah dilatarbelakangi
sanggahan beliau terhadap golongan Karamiyyah yang mengatakan bahwa
Tuhan adalah jauhar (substansi materi) dan Tuhan mempunyai arah. Hujah
mereka ini adalah berdasarkan prinsip logika bahwa setiap benda yang berwujud,
ianya ada berada di dalam jauhar yang lain (yang merujuk kepada sifat ‘aradh’ (sifat
materi) yang berada di dalam jauhar, seperti warna, bentuk dll), atau ia
terpisah dengan jauhar yang lain dari segi arah (sebagaimana sifat jauhar
yang terpisah dengan jauhar yang lain). Berdasarkan prinsip jauhar
dan ‘arad’ ini, golongan Karamiyyah membandingkannya dengan Tuhan
dan alam.
Disebabkan Tuhan dan alam adalah dua perkara
yang wujud, maka Tuhan juga berarti berada di dalam alam (sebagaimana ‘arad’
berada di dalam jauhar) atau Tuhan berada terpisah dengan alam pada satu
arah (sebagaimana jauhar). Disebabkan Tuhan tidak berada di dalam alam
karena ini akan memberikan implikasi penyatuan Tuhan dengan alam (hulul),
maka Tuhan adalah terpisah dengan alam dalam satu arah. Pada hakikatnya, hujah golongan
Karamiyyah ini adalah bertujuan untuk menjustifikasi ayat-ayat al-Qur’an
yang menjelaskan bahwa Tuhan berada di arah atas.
Pendapat kelompok Karramiyah diatas terbantahkan
dengan pendapat imam ar-Razi dalam
tafsir mafatih al-Ghaib, yang menyatakan bahwa:
Sesungguhnya Allah tidak mempunyai Jisim atau Jauhar,
karena bentuk tersebut bersifat pasif
yang menjadikan-Nya seperti ciptaan-Nya. Dengan menggambarkan bahwa Allah itu
mempunyai bentuk, maka hal tersebut bertentangan dengan kaidah yang menyatakan
bahwa Allah itu berdiri sendiri (Qiyamuhu binafsihi).[40]
Selain imam Ar-Razi, terdapat tokoh Asy’ariyah
yang juga mempunyai rumusan tentang adanya Tuhan, berdasarkan kenyataan alam
ini. Adalah al-Baqillani yang mempunyai rumusan bahwa alam indrawi ini katanya
adalah baru (huduts) karena ia terdiri dari tiga unsur: jisim, jauhar
(substansi materi) dan ‘aradh’ yang melekat (layanfakku) pada
keduanya. Jisim bukanlah sesuatu yang tunggal, karena ia tersusun dari jauhar-jauhar,
dan jauhar itu adalah unsur atau
bagian terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Sedangkan ‘aradh’
adalah keadaan atau sifat yang melekat pada jisim dan jauhar. Ia
selalu berubah dan menghilang pada saat kedua wujudnya pada jisim dan jauhar
untuk diganti dengan yang lain.
Oleh
karena jisim dan jauhar tidak terlepas dari aradh, dan
sebaliknya aradh sangat bergantung wujudnya pada jisim dan jauhar, yakni tidak
dapat berdiri sendiri, selain itu ia juga baru karena selalu berubah, maka alam
semesta ini, yang terdiri dari tiga unsur tersebut, juga keadaannya baru. Jika
alam ini baru, maka tentunya harus ada suatu dzat yang tidak baru sebagai sebab
bagi perubahan itu. Dzat itu adalah Allah swt. [41]
Kesimpulan
Dari
pemaparan tetang konsep Tuhan menurut Fakhruddin Ar-Razi diatas, dapat
disimpulkan, pertama: Tuhan dalam Islam disebut dengan lafadz
Allah. Lafadz tersebut merupakan nama diri (proper name) yang mana, seluruh
umat Islam tidak mengalami problem pemanggilan karena berdasarkan atas wahyu
Al-Qur’an yang otentik dan final. Lafadz Allah dalam pandangan Ar-Razi
terumuskan dalam syahadat Laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan selain Allah).
Syahadat tersebut mempunyai makna peng-esa-an Allah secara total.
Kedua, Allah swt. mempunyai sifat seperti halnya
kaum asy’ariyah lainnya. Ia menafikan bahwa Allah berbilang, berjisim, bertempat,
berada dalam ruangan,. Ataupun menyerupai dengan ciptaan-Nya. Hal ini karena
Allah Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada ada yang
menyerupainya. Perbedaan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya merupakan
perbedaan mutlak dalam arti bahwa tiada satupun aspek yang boleh disamakan
dengan-Nya. Maha suci Allah dari segala penyerupaan dan kekurangan. Wallahu
a’lam Bishowab.
.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an Al-Karim
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia
dalam konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Riniry,
(Jakarta:
Rajawali, 1983)
A. Hanafi, Pengantar Teologi
Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003)
Al-Ash’ari,
Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, vol. 2, ed. Muhy al-Din Abd
Hamid (Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1990)
Asy-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Terj. Asywadie
Syukur, (Surabaya: PT. Bina Ilmu,
2006)
Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib
al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011)
_______________, Mafatih
al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1981)
_______________, Khalqu al-Qur’an Baina al-Mu’tazilah wa Ahli
as-sunnah, (Beirut: Dar al-Jiil)
_______________, Mathalibul ‘Aliyah min al ‘Ilmi al-Ilaahi, ed.
Dr. Ahmad Hijazi As-Saqa’ Juz 1(Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1980M-1307H)
_______________, Asas At-Taqdis,
,(Kairo, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah)
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori
Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an
al-Adhim, (Riyadh: Maktabah Darus salam, 1994)
Ibnu Taymiyah, Tafsir Surah al-Ikhlas, (Kaherah: Dar
al-Tiba’ah al-Muhammadiyah, t.t.)
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik
Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)
[1]
Fakhruddin
Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1981), juz
1, hal. 119
[2]
Hal ini dibuktikan oleh Toshihiko Izutsu dengan konsepsinya bahwa nama Allah telah ada sejak masyarakat Arab
pra-Islam. Ia menerangkan masalah makna relasional kata Allah dikalangan
orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep
Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat orang-orang Arab
pra Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang mereka pahami. Kedua,
orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra Islam yang menggunakan kata Allah
untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah berarti Tuhan Injil. Ketiga, Orang-orang Arab pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen dan
non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Hal ini terjadi ketika
seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan Al-A’sha Al-Kabar menulis puisi
pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah kearah monoteisme. Lihat, Toshihiko
Izutsu, Relasi Tuhn dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), p. 105. Konsep Allah menurut masyarakat Arab
pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat diketahui melalui al-Qur’an. Allah
SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi, yang memudahkan peredaran
matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat menggantungkan
harapan. Lihat, Q.S: Lihat, Q.S. 29: 61,63; Q.S. 31:25; Q.S.39:38; Q.S.43:9,87;
Q.S.13:17; Q.S.16:53; dan Q.S. 29:65
[3]
Fakhruddin Ar-Razi,
Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 1, p.
114
[4]
Fakhruddin
Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib,.....p. 123.
[5]
Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an),
(Jakarta: Zaman, 2011), p.28
[6]
Imam Fahrudin Ar-Razi, Mathalibul ‘Aliyah min al ‘Ilmi al-Ilaahi, ed.
Dr. Ahmad Hijazi As-Saqa’ Juz 1(Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1980M-1307H) p.
37
[7]
Fakhruddin ar-Razy, Khalqu al-Qur’an Baina al-Mu’tazilah wa Ahli as-sunnah,
(Beirut: Dar al-Jiil) P.5
[8]
Lihat,
Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adhim, (Riyadh: Maktabah Darus salam,
1994), p. 40
[9] Ibid, p.
40
[10]
Q.S. al-A’raf: 180
[11]
QS. Thaha: 14
[12]
Fakhruddin ar-Razi, Mafatih....., p. 152
[13]
Fakhruddin ar-Razi, Ajaib al-Qur’an....., p. 11
[14]
Q.S. al-Baqarah: 163.
[15]
Q.S. al-Isra’: 70
[16]
Fahruddin al-Razi, ‘Ajaib al-Qur’an....., p. 86
[17]
Ibid, p. 170
[18]
Q.S. al-An-Biya’: 22
[19]
Fahruddin al-Razi, ‘Ajaib al-Qur’an,...., p. 172
[20]
Ibid,......, p. 178-178
[21]
Aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang tertua, Aliran tersebut lahir
lebih kurang pada permulaan abad pertama Hijrah di kota Basrah (Irak). Asal
usul penyebutan Mu’tazilah, diataranya karena Wasil bin ‘ata dan amr bin ‘Ubaid
menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian Hasan Basri di masjid Basrah,
kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa
orang-orang yang mengerjakan dosa besar
tidak mu’min dan tidak pula kafir lengkap, melainkan berada dalam suatu
tempat diantara dua tempat (al-Manzilah baina Manzilaaini) tersebut,
karena penjauhan ini, maka disebut Mu’tazilah. Pendapat yang mengatakan bahwa
penyebutan Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang
telah ada tentang orang-orang yang mengerjakan dosa besar. Lihat, A. Hanafi, Pengantar
Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), p. 76
[23]
sebutan dari
abu Huzaifah Washil ibn Atha al-Ghazzal-Al-Altsag.
[24]
As-syahrastani, al-Milal wa al-Nihal,....., p. 40
[25]
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), p.77
[26]
QS. Al-Ikhlas 1-3
[27]
Fakhruddin ar-Razy, Asas at-Taqdis,(Kairo, Maktabah al-Kulliyat
al-Azhariyah), p.30
[28]
Ibid, p. 31
[29]
Ibnu Taymiyah, Tafsir Surah al-Ikhlas, (Kaherah: Dar al-Tiba’ah
al-Muhammadiyah, tanpa tahun), p. 13-25
[30]
Al-Razi,
Mafatih,....., p. 117
[31]
Politeisme adalah menyembah tuhan-tuhan banyak. Golongan ini mempercayai adanya
dewa-dewa. Dalam kepercayaan ini, hal-hal yang menimbulkan perasaan takjub dan
dahsyat bukan lagi dikuasi oleh ruh-ruh, tetapi oleh dewa-dewa. Ada dewa yang
bertugas memberikan cahaya dan panas ke permukaan bumi. Dewa ini dalam agama
Mesir kuna disebut Ra. Ada pula dewa yang tugasnya menurunkan hujan,
dewa ini dinamakan Indera. Dan ada pula dewa angin yang disebut dengan Wata.
Selanjutnya dewa yang tiga itu mengambil bentuk Brahma, Wisnu, Syiwa. Lihat,
Harun Nasutian, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), p.31
[32]
Q.S. al-Shura : 11
[33]
QS. Al-Ikhlas 1-3
[34]
Fakhruddin
al-Razi, Asas al-Taqdis,....., p. 30.
[35]
Ibid,
p. 77.
[36]
Karamiyyah merupakan kelompok yang dimasukkan kelompok shifaniyah karena
mereka mengakui bahwa mempunyai sifat namun mereka sangat berlibihan yang
akhirnya menyamakan Allah dengan makhluk (tasybih) dan mengakui Allah mempunyai
anggota tubuh seperti manusia (tajsim). Kelompok ini disebut Karamiyyah
terambil dari tokoh kelompok tersebut yang bernama Abu ‘Abdillah ibn Karam
(255H). Kelompok ini terpecah menjadi dua belas kelompok kecil, namun kelompok
yang terpenting ada enam; al-Tauniyah,
al-Zariniyah, al-Ishaqiyah, al-Wahidiyah dan al-Haishamiah. Dalam hal iman,
mereka hampir sepakat dengan Mu’tazilah bahwa akallah yang menentukan baik
buruk seseorang. Bedanya, bahwa kelompok ini tidak mengatakan wajib bagi Allah
mewujudkan kebaikan atau yang lebih baik. Menurut mereka sah iman seseorang
hanya dengan tuturan lidah, sedangkan tashdiq dengan hati dan perbuatan, tidak
termasuk unsur iman. Menurut mereka seseorang baru dikatakan mukmin yang benar
diliha dari sisi pelaksanaan hukum lahiriyah dan taklif serta hukum-hukum
akhirat dan ketentuannya. Orang munafik baginya adalah orang yang beriman di
dunia, ia mendapat siksa yang kekal di akhirat, Lihat, Asy-Syahrastani, al-Milal
Wa al-Nihal, Terj. Asywadie Syukur, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006), p.
95-100
[37]
Animisme adalah paham masyarakat primitif yang berpendapat bahwa semua benda,
baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa mempunyai roh. Sepeti kayu, gunung,
laut, sungai, pohon, batu, bahkan rumputpun memiliki roh. Lihat, Harun
Nasution,....,p. 26
[38]
Al-Ash’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin,
vol. 2, ed. Muhy al-Din Abd Hamid (Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1990), p.
281-282.
[39]
Lihat al-Shahrastani, Muhammad Abd al-Karim, Kitab al-Milal wa
al-Nihal. Terj. Inggris, The Section on Muslim Sects, terj.. A. K.
Kazi & J. A. G. Flynn (London: Kegan Paul International, 1984),p. 88-96
[40]
Fakhruddin
Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib,... p. 120
[41]Ahmad
Daudy, Allah dan Manusia dalam konsepsi Syeikh Nuruddin ar-Riniry, (Jakarta: Rajawali, 1983) P.66
Tidak ada komentar:
Posting Komentar