Senin, 26 Maret 2012

Lafadz Allah Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi



A.     Pendahuluan
Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari konsep Tuhan tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.
Tuhan dalam Islam adalah Haq dan final. Tuhan dalam Islam, telah disepakati penyebutannya oleh umat Islam dengan sebutan Allah. Kesepakatan tersebut berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang dijelaskan dalam banyak ayatnya. Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhannya.
Lafadz Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan. Selain bermakna kemuliaan dan keagungan, kata tersebut juga mensyaratkan bahwa lafadz Allah mewajibkan seluruh bentuk kemuliaan dan menegasikan segala bentuk kekurangan. Dalam konsepsi Fakhruddin Al-Razi Allah merupakan Tuhan yang mutlak, Maha Sempurna dan berbeda sama sekali dengan ciptaan-Nya.[1] Tulisan ini akan menjelaskan konsep Allah menurut Fahruddin ar-Razi. Ruang lingkup pembahasan ini meliputi, nama dan sifat Allah

C.    Tentang nama Allah
Untuk memahami konsep Allah menurut Fahruddin ar-Razi, metode yang paling membantu adalah dengan menyimak tafsirannya ketika berinteraksi dengan kata ini. Basis dari segala pandangan teologisnya, berporos dari caranya menafsirkan dan menginterpretasikan lafadz Allah.
Secara etimologi, Allah adalah nama Arab[2]. Asal dari lafadh Allah menurut imam ar-Razi adalah al-Ilah. Lafadz tersebut terdiri dari enam huruf, namun kata ilah tersebut ketika diganti dengan perkataan Allah tinggal empat huruf dalam tulisan, yaitu hamzah  (أ), dua lam (لل), ha’(ه)[3],. Allah swt. (Allah merupakan kata agung (lafadz al-jalalah) merupakan nama diri (ism al-dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya. Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib, imam Ar-Razy juga  menyebutkan bahwa Allah adalah al-ismu al-A’dzam.[4]
Menurut imam Ar-Razi, lafadz Allah tersebut tersusun dari empat huruf. Jika huruf  pertama alif dihilangkan, tiga huruf  lainnya menjadi simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunya) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah) . Huruf pertama, “alif”, merupakan sumber segala sesuatu, dan huruf terakhir, “hu” (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Maha Suci dari semua sekutu[5].
Sedangkan secara terminologi, Menurut Imam Ar-Razi, Allah adalah dzat yang paling mulia secara mutlak. Allah merupakan nama Tuhan yang paling agung yang menunjukkan kepada kemuliaan dan keagungan Tuhan[6]. Allah merupakan Tuhan alam semesta, Tidak ada sekutu baginya, Tidak ada bandingannya, dan tidak ada yang menyerupainya[7]. Senada dengan imam Ar-Razi, dalam konsepsi Ibnu Katsir, Allah adalah nama diri  al-ismu al-a’dhamu’. Allah juga merupakan nama yang khusus dan tidak ada sesuatu pun yang memiliki nama itu selain Allah Rabb al- “Alamin (Tuhan seluruh alam semesta)[8].
Dari pengertian tentang lafadz Allah tersebut dapat ditegaskan bahwa Allah betul-betul nama diri (proper name) dan Tuhan seluruh alam semesta. Ibnu Katsir dalam kitab Tafsirnya juga telah menjelaskan bahwa Allah adalah al-Ismu al-Jamid (kata benda yang tidak berasal usul dari kata lain). Terkait dengan hal ini, Imam syafi’i, Imam Haramain, dan Imam al-Ghazali juga berpendapat bahwa lafadz Allah adalah isim (kata benda) yang tidak memiliki akar kata, artinya, bukan isim musytaq yang memiliki akar kata.[9]
Karena lafadz Allah merupakan nama diri (proper name) maka, umat Islam dimanapun berada, tidak akan pernah mendapti problem nama Tuhan. Hal ini dikarenakan nama Allah telah ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur’an, lafdhan wa ma’nan dari Allah , Shalih fi kulli zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya, Dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal
Allah sebagai nama Tuhan dalam Islam, memiliki nama-nama yang indah  yang tertulis dalam al-Qur’an. Sebagaimana firman-Nya “walillahi al asma’ul husna fad’uhu biha” (Hanya milik Allah al-Asma’ al-Husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutkan al-Asma’ al-Husna).[10] Disini dijelaskan bahwa nama-nama Allah itu banyak tapi yang diberi nama hanya satu. Dia adalah Allah swt. Dalam ayat tersebut juga di jelaskan bahwa ada perintah untuk memanggil (berdo’a) dengan menyebut nama Allah. Maka dalam hal ini nama menjadi alat untuk memanggil, dan yang dipanggil adalah Allah.
Terdapat ayat dalam al-Qur’an yang menunjukkan bahwa konsep Allah adalah nama diri (proper name) dapat kita  kaji dari surat At-Thahaa ayat 14:
ûÓÍ_¯RÎ) $tRr& ª!$# Iw tm»s9Î) HwÎ) O[11]$tRr&
Artinya: Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang haq) selain Aku.
Menurut penafsiran Ar-Razi, lafadh laa ilaaha anaa, merupakan kalimat yang menunjukkan kepada istbat (ketetapan) Allah. Dan tidak pantas menyandangnya kecuali diri-Nya.[12]Ungkapan “tiada tuhan selain-Ku” mengisyaratkan pengetahuan pokok[13].

D.    Makna “Laa Ilaaha Illallaah”
Konsep Allah dalam pandangan ar-Razi telah dirumuskan dalam al-Qur’an yang tergambar dalam syahadat Laa ilaaha illallaah. Dalam menjelaskan makna syahadat tersebut, Fahruddin ar-Razi membahas secara khusus dalam kitab Ajaib al-Qur’an. Menurutnya, Laa ilaaha illallah disebut sebagai kalimat tauhid, karena menunjukkan peniadaan sekutu Allah secara mutlak. Dikatakan secara mutlak karena ketika Allah berfirman, “Tuhanmu adalah tuhan yang satu,”[14] bisa saja terlintas dalam pikiran seseorang bahwa Tuhan kami adalah satu, sementara Tuhan orang lain, berbeda dengan Tuhan kami. Dugaan semacam ini menurutnya lenyap lewat penjelasan tauhid secara mutlak. Allah berfirman, “tiada Tuhan selain dia.”[15]
Dalam menjelaskan Ayat “Tiada Tuhan selain Dia” tersebut , imam Ar-Razi menggambarkan, ketika kita berkata, “Tidak ada orang dirumah,” berarti kita menidakan esensinya. Ketika esensinya tidak ada, maka semua bagainnya juga tidak ada. Seandainya salah satu bagiannya ada, berarti esensinya ada. Sebab setiap bagiannya mencakup esensi tersebut. Jika esensinya ada, itu bertentangan dengan peniadaan esensi. Jadi ungkapan, “tidak ada orang di rumah,” berarti peniadaan secara total. Kalau sesudah itu disebutkan kecuali Zayd, berarti pengesaan secara total[16]. Berarti Tiada Tuhan selain Allah memberikan makna pengesaan secara total.

1.       Posisi Kata “Allah”
Selanjutnya, dalam menjelaskan kalimat tauhid tersebut, imam Ar-Razi menjelaskan kedudukan lafadz “Allah”. Lafadz tersebut dalam kajian ilmu nahwu berkedudukan ‘marfu’. Sebab, ia badal (pengganti) dari posisi kata “Laa” dan nominanya. Sebagai penjelasannya, jika ada ungkapan, “Ma ja’ani rajul illa Zayd (Tidak ada seorangpun mendatangiku kecuali Zayd)”, disini kata Zayd berbentuk marfu’ karena badal tadi. Dalam konteks ini bagian pertama diabaikan, sedang yang dilihat adalah bagian keduanya. Dengan demikian asumsi dari kalimat diatas, “Ja’ani Zayd (Zayd mendatangiku).” Ini sangat logis karena kalimat  diatas menafikan kedatangan siapapun, kecuali kedatangan Zayd. Adapun ungkapan, Ja’ani al-qawm illa Zayd (Semua orang datang kecuali zayd)”, disini badal tidak bisa diberlakukan. Sebab asumsinya, Ja’ani illa Zayd (datang kepadaku kecuali Zayd).” Artinya semau orang datang kepadanya kecuali Zayd. Ini mustahil. [17].

2.      Masud “Illa”
Berkaitan dengan makna kata “illa” pada kalimat Laa ilaaha illallaah., kata   “illa” menurutnya bermakna ghayr (selain) dan bukan bermakna kecuali. Sehingga asumsinya menjadi laa ilaaha ghayr Allah. Dalam al-Qur’an Allah berfirman, “Seandainya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan lain selain Allah, pasti akan rusak[18].” Kata illa disini diasumsikan bermakna ghayr (selain). Alasannya, kalau kata illa diartikan sebagai pengecualian, maka kalimat laa ilaaha illallah menurutnya tidak murni sebagai kalimat tauhid. Sebab, asumsi kalimat tersebut menjadi: laa ilaaha yustatsna ‘anhum Allah ( tiada tuhan terkecuali dari mereka (tuhan-tuhan itu) Allah). Artinya semua tuhan dinafikan, sementara Allah sebagai pengecualian. Jadi kalau kata illa diartikan sebagai pengecualian, maka ungkapan laa ilaaha illallah bukan tauhid yang murni. Hal ini karena para ulama sepakat bahwa kalimat tersebut berisi tauhid murni. Dengan demikian, menurut imam Ar-Razi, kata illa harus diartikan dengan ghayr agar makna kalimatnya menjadi laa ilaaha ghayr Allah (tiada tuhan selain Allah)[19].
Selain merupakan kalimat tauhid, lafadzLaa ilaaha illallah” juga berfungsi sebagai nafyu (penegasian) dan itsbat (afirmasi). Dalam hal ini penegasian lebih didahulukan daripada penetapan wujud Allah. Alasannya, menurut imam ar-Razi, pertama, meniadakan sifat Tuhan dari selain-Nya dan kemudian diikuti dengan menetapkan sifat tersebut untuk-Nya lebih kuat daripada langsung menetapkan tanpa  meniadakan selain-Nya. Kedua, “tiada tuhan selain Allah” berfungsi mengeluarkan segala sesuatu selain Allah dari kalbu. Sehingga tatkala kalbu telah kosong dari yang selain Allah, lalu terlintas di dalamnya kekuasan Allah, cahayanya akan bersinar terang dan kekuasaan-Nya akan tampak secara sempurna, Ketiga, penegasian yang diperoleh melalui kala “la” (tiada) berkedudukan seperti thaharah (bersuci). Sementara penetapan wujud dengan kata kata “illa” (selain) berkedudukan seperti thaharah dalam shalat. Jadi “laa ilaaha” harus lebih didahulukan dari pada “illa Allah”[20].
Dengan demikian, lafadz laa ilaaha illallah tersebut merupakan perkara pokok (ushul). Dengan memahami hakekat kalimat tauhid tersebut, berarti sebagai umat Islam telah mengesakan Allah secara total. Karena sumber pokoknya adalah keutamaan sejati (yaitu ketauhidan), maka tak aneh jika kemudian lafaz laa illaaha illallah juga menempati posisi istimewa. Ketika kita telah mendeklarasikan keyakinan kita hanya pada Allah semata, maka harus menafikan ilah ilah yang lain sembari meneguhkan keyakinan bahwa hanya ada satu ilah, yaitu Allah swt. 

E.    Pandangan ar-Razi Tentang Mu’tazillah[21] dan Karramiyyah[22]
Dalam masalah ketuhanan, Mu’tazilah menganut prinsip bahwa Allah adalah Esa, sebagaimana kelompok salaf  memahaminya. Namun dalam hal sifat Tuhan, kelompok Mu’tazilah, terutama yang dimotori oleh Wasil Bin Atha’[23]  memiliki doktrin bahwa, mereka menolak adanya sifat-sifat Allah seperti al-Ilmu, Qudrah, Iradah, Hayat. Bagi wasil, mustahil ada dua Tuhan yang qadim dan yang azali. Katanya, siapa yang mengakui adanya sifat qadim pada dzat Allah maka ia mengakuinya adanya dua Tuhan.[24]  Sehingga makna peng-esaan dan pensucian bagi aliran Mu’tazilah ialah meniadakan semua sifat-sifat Allah.
Penolakan terhadap sifat-sifat Allah inilah yang membedakan Mu’tazilah dengan kebanyakan ulama salaf terutama kalangan Asy’ariyah, seperti halnya imam ar-Razi yang meneguhkan bahwa Allah memiliki sifat Maha Kuasa (al-Qudrah), Maha Mengetahui (al-Hayah), Maha Berfirman (al-Kalam), Maha Mendengar (al-Sam’u), dan Maha Melihat (al-Basar).[25]
Tuhan, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Qur’an yang terletak dalam surah al-Ikhlas adalah Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada yang menyerupai dengan-Nya[26]. Terkait dengan hal ini, Fahrudin ar-Razi mejelaskan dalam kitabnya Asas at-Taqdis, bahwa makna Allahu Ahad, berarti bahwa Allah itu tidak membutuhkan kepada selain-Nya. Kemudian setiap yang murokkab (tersusun) membutuhkan kepada setiap yang satu dari bagian-baginnya. Berarti setiap yang murokkab membutuhkan kepada yang lainnya.[27] Lafadz “Allahu Ahad” juga menunjukkan peniadaan jismiyah, tempat dan arah. [28]
Selain imam Ar-Razi, Ibnu Taymiyah, juga menafsirkan makna yang terkadung dalam surat al-Ikhlas, menurutnya, Tuhan adalah Esa, artinya bahwa Dia tidak melahirkan dan tidak dilahirkan. Argumen selanjutnya, jika sesuatu yang secara sendirian melahirkan, maka seharusnya ada sesuatu yang keluar darinya. Apabila ada sesuatu yang bersandar pada yang lain, maka sudah tentu membutuhkan tempat. Keadaan yang semacam ini ditolak dengan firman-Nya “Allahu Ahad”. Hal ini karena Yang Maha Esa itu ialah yang tiada sesuatu pun yang setara dengan-Nya dan tidak ada bandingan-Nya.[29]  Dan Dia berbeda dengan ciptaan-Nya (mukhalafatu lil hawadits)[30].
Sebagai Tuhan yang Esa, kewujudan-Nya mesti berbeda dengan kewujudan yang lain dan semua bentuk persamaan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya. Prinsip akidah yang dikenali sebagai tanzih ini merupakan asas penting dalam faham ketuhanan dalam Islam yang membedakannya dari teologi agama-agama yang berasaskan politeisme[31]. Ia berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang jelas menyatakan tentang keunikan sifat dan hakikat Tuhan dari yang lain seperti ayat “Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya (laysaka mithlihi shay’),”[32] “Tidak ada pada-Nya sesuatu yang setara dengan-Nya (wa lam yakun lahu kufuwan ahad).”[33]
Dalam mentafsirkan ayat-ayat tersebut, al-Razi menjelaskan bahwa prinsip tanzih ini tidak boleh ditolak karena ayat-ayat yang mendukungnya  merupakan ayat-ayat mempunyai makna yang sudah jelas dan muhkamat (tetap) dalam menggambarkan perbedaan Tuhan dengan makhluk.[34] Oleh karena itu ayat-ayat tersebut maknanya tetap dan tidak bisa dipermasalahkan dengan berbagai bentuk pentakwilan. Disinilah pentingnya imam ar-Razi meletakkan aspek tanzih sebagai salah satu dari sifat-sifat wajib Tuhan, yang termanifentasi dari ungkapan mukhalafatu li al-hawaditsi (berbeda dengan yang diciptakan).  
Dalam memperkuat lagi aspek tanzih, al-Razi memberikan penjelasan berdasarkan hujah falsafah dan logika:
Pertama, Tuhan merupakan satu-satunya kewujudan yang tidak mempunyai bentuk persamaan (matsil) atau penyerupaan (sabhih).  Tidak ada genus, seperti yang diuraikan dalam ilmu mantiq, yang dikenakan kepada Tuhan karena Tuhan tidak boleh dikelompokkan dalam macam-macam jins (genus) yang dibawahnya terkandung naw’ (species) sebagaimana sifat-sifat makhluk yang lain. Bila pun ada persamaan antara Tuhan dan makhluk, sebagaimana yang terdapat dalam istilah sifat ilmu, hayat, sama, dan bashar, ini hanyalah persamaan dari segi bahasa (al-isthirak al-lafdzi).[35]
Kedua, penekanan ayat-ayat diatas membuktikan bahwa setiap sifat Tuhan adalah berbeda secara dzatiah (esensi) dengan sifat makhluk. Ini bermakna perbedaan antara Tuhan dengan makhluk adalah perbedaan mutlak dalam arti bahwa tiada satupun aspek yang boleh disamakan antara kedua-duanya.
Ketiga, betitik tolak dari prinsip ini juga, Tuhan juga tidak boleh disamakan dengan benda-benda yang bersifat jisim karena itu akan mengandaikan bahwa Tuhan boleh dibagi (murakkab) sebagaimana setiap jisim terbagi-bagi. Setiap benda yang terbagi, maka setiap bagiannya memerlukan satu dengan yang lain.
Keempat, Tuhan juga tidak boleh dikatakan menempati ruang, karena bila menempati ruang sama saja mengatakan bahwa Allah itu bertempat  sedangkan bertempat juga merupakan salah satu ciri benda yang berjisim. Tempat juga merupakan sesuatu yang mempunyai ukuran tertentu, begitu juga dengan jisim. Sementara jisim merupakan sesuatu yang mempunyai ukuran  tertentu, batasan-batasan tertentu dan sebagainya yang mengambil ruang dan tempat. Terhadap hal yang demikian, Maha Suci Allah swt. Dari yang bertempat dan berjisim. Karena wujud Allah itu tidak berjisim, bertempat dan mempunyai Arah.
Penjelasan  al-Razi mengenai penegasian aspek tajsim merupakan respon terhadap pandangan golongan Mushabbihah dan Mujassimah terutama golongan Karamiyah[36]. Golongan ini bisa dikatakan terpengaruh dengan pemikiran agama lain seperti Yahudi dan Nasrani dan juga paham animisme[37] yang dibawa dari budaya dan keagamaan lama mereka. Beberapa tokoh Syi’ah seperti Hisham bin Hakam berpandangan bahwa Tuhan mempunyai ukuran dan panjang, bahwa panjang tuhan adalah tujuh depa tangan manusia sementara Abu al-Hudhayl mengatakan bahwa Tuhan tidak lebih besar dari Jabal Qubays di Mekah.[38] Adapun golongan Karramiyyah berpandangan bahwa Tuhan boleh ditunjuk dengan arah, Tuhan ada di atas dan juga dibawah.[39]
Secara khusus, hujah-hujah al-Razi adalah dilatarbelakangi sanggahan beliau terhadap golongan Karamiyyah yang mengatakan bahwa Tuhan adalah jauhar (substansi materi) dan Tuhan mempunyai arah. Hujah mereka ini adalah berdasarkan prinsip logika bahwa setiap benda yang berwujud, ianya ada berada di dalam jauhar yang lain (yang merujuk kepada sifat ‘aradh (sifat materi) yang berada di dalam jauhar, seperti warna, bentuk dll), atau ia terpisah dengan jauhar yang lain dari segi arah (sebagaimana sifat jauhar yang terpisah dengan jauhar yang lain). Berdasarkan prinsip jauhar dan ‘arad’ ini, golongan Karamiyyah membandingkannya dengan Tuhan dan alam.
Disebabkan Tuhan dan alam adalah dua perkara yang wujud, maka Tuhan juga berarti berada di dalam alam (sebagaimana ‘arad’ berada di dalam jauhar) atau Tuhan berada terpisah dengan alam pada satu arah (sebagaimana jauhar). Disebabkan Tuhan tidak berada di dalam alam karena ini akan memberikan implikasi penyatuan Tuhan dengan alam (hulul), maka Tuhan adalah terpisah dengan alam dalam satu arah. Pada hakikatnya, hujah golongan Karamiyyah ini adalah bertujuan untuk menjustifikasi ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan bahwa Tuhan berada di arah atas.
Pendapat kelompok Karramiyah diatas terbantahkan dengan pendapat  imam ar-Razi dalam tafsir mafatih al-Ghaib, yang menyatakan bahwa:   
Sesungguhnya Allah tidak mempunyai Jisim atau Jauhar, karena bentuk  tersebut bersifat pasif yang menjadikan-Nya seperti ciptaan-Nya. Dengan menggambarkan bahwa Allah itu mempunyai bentuk, maka hal tersebut bertentangan dengan kaidah yang menyatakan bahwa Allah itu berdiri sendiri (Qiyamuhu binafsihi).[40]
Selain imam Ar-Razi, terdapat tokoh Asy’ariyah yang juga mempunyai rumusan tentang adanya Tuhan, berdasarkan kenyataan alam ini. Adalah al-Baqillani yang mempunyai rumusan bahwa alam indrawi ini katanya adalah baru (huduts) karena ia terdiri dari tiga unsur: jisim, jauhar (substansi materi) dan ‘aradh’ yang melekat (layanfakku) pada keduanya. Jisim bukanlah sesuatu yang tunggal, karena ia tersusun dari jauhar-jauhar, dan jauhar itu adalah unsur atau  bagian terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Sedangkan ‘aradh’ adalah keadaan atau sifat yang melekat pada jisim dan jauhar. Ia selalu berubah dan menghilang pada saat kedua wujudnya pada jisim dan jauhar untuk diganti dengan yang lain.
 Oleh karena jisim dan jauhar tidak terlepas dari aradh, dan sebaliknya aradh sangat bergantung wujudnya pada jisim dan jauhar, yakni tidak dapat berdiri sendiri, selain itu ia juga baru karena selalu berubah, maka alam semesta ini, yang terdiri dari tiga unsur tersebut, juga keadaannya baru. Jika alam ini baru, maka tentunya harus ada suatu dzat yang tidak baru sebagai sebab bagi perubahan itu. Dzat itu adalah Allah swt. [41]

Kesimpulan
Dari pemaparan tetang konsep Tuhan menurut Fakhruddin Ar-Razi diatas, dapat disimpulkan, pertama: Tuhan dalam Islam disebut dengan lafadz Allah. Lafadz tersebut merupakan nama diri (proper name) yang mana, seluruh umat Islam tidak mengalami problem pemanggilan karena berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang otentik dan final. Lafadz Allah dalam pandangan Ar-Razi terumuskan dalam syahadat Laa ilaaha illallaah (tiada Tuhan selain Allah). Syahadat tersebut mempunyai makna peng-esa-an Allah secara total.
Kedua, Allah swt. mempunyai sifat seperti halnya kaum asy’ariyah lainnya. Ia menafikan bahwa Allah berbilang, berjisim, bertempat, berada dalam ruangan,. Ataupun menyerupai dengan ciptaan-Nya. Hal ini karena Allah Maha Esa, Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tiada ada yang menyerupainya. Perbedaan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya merupakan perbedaan mutlak dalam arti bahwa tiada satupun aspek yang boleh disamakan dengan-Nya. Maha suci Allah dari segala penyerupaan dan kekurangan. Wallahu a’lam Bishowab.













Daftar Pustaka

Al-Qur’an Al-Karim
Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam konsepsi Syeikh Nuruddin  ar-Riniry,     (Jakarta: Rajawali, 1983)
A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003)
Al-Ash’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, vol. 2, ed. Muhy al-Din              Abd Hamid (Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1990)
Asy-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Terj. Asywadie Syukur, (Surabaya: PT. Bina    Ilmu, 2006)
Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011)
_______________, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1981)
_______________, Khalqu al-Qur’an Baina al-Mu’tazilah wa Ahli as-sunnah, (Beirut: Dar al-Jiil)
_______________, Mathalibul ‘Aliyah min al ‘Ilmi al-Ilaahi, ed. Dr. Ahmad Hijazi As-Saqa’ Juz 1(Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1980M-1307H)
_______________, Asas At-Taqdis, ,(Kairo, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah)
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995)
Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adhim, (Riyadh: Maktabah Darus salam, 1994)
Ibnu Taymiyah, Tafsir Surah al-Ikhlas, (Kaherah: Dar al-Tiba’ah al-Muhammadiyah, t.t.)
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)




[1] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1981), juz 1, hal. 119
[2] Hal ini dibuktikan oleh Toshihiko Izutsu dengan konsepsinya bahwa nama  Allah telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Ia menerangkan masalah makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat orang-orang Arab pra Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang mereka pahami. Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah  berarti Tuhan Injil. Ketiga, Orang-orang Arab  pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen dan non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Hal ini terjadi ketika seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan Al-A’sha Al-Kabar menulis puisi pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah kearah monoteisme. Lihat, Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhn dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), p. 105. Konsep Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat menggantungkan harapan. Lihat, Q.S: Lihat, Q.S. 29: 61,63; Q.S. 31:25; Q.S.39:38; Q.S.43:9,87; Q.S.13:17; Q.S.16:53; dan  Q.S. 29:65
[3] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000), juz 1, p. 114
[4] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib,.....p. 123.
[5] Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011), p.28
[6] Imam Fahrudin Ar-Razi, Mathalibul ‘Aliyah min al ‘Ilmi al-Ilaahi, ed. Dr. Ahmad Hijazi As-Saqa’ Juz 1(Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1980M-1307H) p. 37
[7] Fakhruddin ar-Razy, Khalqu al-Qur’an Baina al-Mu’tazilah wa Ahli as-sunnah, (Beirut: Dar al-Jiil) P.5
[8] Lihat, Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adhim, (Riyadh: Maktabah Darus salam, 1994), p. 40
[9] Ibid, p. 40
[10] Q.S. al-A’raf: 180
[11] QS. Thaha: 14
[12] Fakhruddin ar-Razi, Mafatih....., p. 152
[13] Fakhruddin ar-Razi, Ajaib al-Qur’an....., p. 11
[14] Q.S. al-Baqarah: 163.
[15] Q.S. al-Isra’: 70
[16] Fahruddin al-Razi, ‘Ajaib al-Qur’an....., p. 86
[17] Ibid, p. 170
[18] Q.S. al-An-Biya’: 22
[19] Fahruddin al-Razi, ‘Ajaib al-Qur’an,...., p. 172
[20] Ibid,......, p. 178-178
[21] Aliran Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang tertua, Aliran tersebut lahir lebih kurang pada permulaan abad pertama Hijrah di kota Basrah (Irak). Asal usul penyebutan Mu’tazilah, diataranya karena Wasil bin ‘ata dan amr bin ‘Ubaid menjauhkan diri (i’tazala) dari pengajian Hasan Basri di masjid Basrah, kemudian membentuk pengajian sendiri, sebagai kelanjutan pendapatnya bahwa orang-orang yang mengerjakan dosa besar  tidak mu’min dan tidak pula kafir lengkap, melainkan berada dalam suatu tempat diantara dua tempat (al-Manzilah baina Manzilaaini) tersebut, karena penjauhan ini, maka disebut Mu’tazilah. Pendapat yang mengatakan bahwa penyebutan Mu’tazilah karena mereka menjauhkan (menyalahi) semua pendapat yang telah ada tentang orang-orang yang mengerjakan dosa besar. Lihat, A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2003), p. 76
[23] sebutan dari abu Huzaifah Washil ibn Atha al-Ghazzal-Al-Altsag.
[24] As-syahrastani, al-Milal wa al-Nihal,....., p. 40
[25] Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), p.77
[26] QS. Al-Ikhlas 1-3
[27] Fakhruddin ar-Razy, Asas at-Taqdis,(Kairo, Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah), p.30
[28] Ibid, p. 31
[29] Ibnu Taymiyah, Tafsir Surah al-Ikhlas, (Kaherah: Dar al-Tiba’ah al-Muhammadiyah, tanpa tahun), p. 13-25
[30] Al-Razi, Mafatih,....., p. 117
[31] Politeisme adalah menyembah tuhan-tuhan banyak. Golongan ini mempercayai adanya dewa-dewa. Dalam kepercayaan ini, hal-hal yang menimbulkan perasaan takjub dan dahsyat bukan lagi dikuasi oleh ruh-ruh, tetapi oleh dewa-dewa. Ada dewa yang bertugas memberikan cahaya dan panas ke permukaan bumi. Dewa ini dalam agama Mesir kuna disebut Ra. Ada pula dewa yang tugasnya menurunkan hujan, dewa ini dinamakan Indera. Dan ada pula dewa angin yang disebut dengan Wata. Selanjutnya dewa yang tiga itu mengambil bentuk Brahma, Wisnu, Syiwa. Lihat, Harun Nasutian, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), p.31
[32] Q.S. al-Shura : 11
[33] QS. Al-Ikhlas 1-3
[34] Fakhruddin al-Razi, Asas al-Taqdis,....., p. 30.
[35] Ibid, p. 77.
[36] Karamiyyah merupakan kelompok yang dimasukkan kelompok shifaniyah karena mereka mengakui bahwa mempunyai sifat namun mereka sangat berlibihan yang akhirnya menyamakan Allah dengan makhluk (tasybih) dan mengakui Allah mempunyai anggota tubuh seperti manusia (tajsim). Kelompok ini disebut Karamiyyah terambil dari tokoh kelompok tersebut yang bernama Abu ‘Abdillah ibn Karam (255H). Kelompok ini terpecah menjadi dua belas kelompok kecil, namun kelompok yang terpenting  ada enam; al-Tauniyah, al-Zariniyah, al-Ishaqiyah, al-Wahidiyah dan al-Haishamiah. Dalam hal iman, mereka hampir sepakat dengan Mu’tazilah bahwa akallah yang menentukan baik buruk seseorang. Bedanya, bahwa kelompok ini tidak mengatakan wajib bagi Allah mewujudkan kebaikan atau yang lebih baik. Menurut mereka sah iman seseorang hanya dengan tuturan lidah, sedangkan tashdiq dengan hati dan perbuatan, tidak termasuk unsur iman. Menurut mereka seseorang baru dikatakan mukmin yang benar diliha dari sisi pelaksanaan hukum lahiriyah dan taklif serta hukum-hukum akhirat dan ketentuannya. Orang munafik baginya adalah orang yang beriman di dunia, ia mendapat siksa yang kekal di akhirat, Lihat, Asy-Syahrastani, al-Milal Wa al-Nihal, Terj. Asywadie Syukur, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2006), p. 95-100
[37] Animisme adalah paham masyarakat primitif yang berpendapat bahwa semua benda, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa mempunyai roh. Sepeti kayu, gunung, laut, sungai, pohon, batu, bahkan rumputpun memiliki roh. Lihat, Harun Nasution,....,p. 26
[38] Al-Ash’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Musallin, vol. 2, ed. Muhy al-Din Abd Hamid (Beirut: Maktabah al-‘Asriyyah, 1990), p. 281-282.
[39] Lihat al-Shahrastani, Muhammad Abd al-Karim, Kitab al-Milal wa al-Nihal. Terj. Inggris, The Section on Muslim Sects, terj.. A. K. Kazi & J. A. G. Flynn (London: Kegan Paul International, 1984),p. 88-96
[40] Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih al-Ghaib,... p. 120
[41]Ahmad Daudy, Allah dan Manusia dalam konsepsi Syeikh Nuruddin  ar-Riniry, (Jakarta: Rajawali, 1983) P.66

Tidak ada komentar:

Posting Komentar