Senin, 26 Maret 2012

Konsep Tuhan Menurut Islam


A.    Konsep Tuhan yang Unik dan Otentik

Konsep Tuhan merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari konsep Tuhan tersebut, lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti; konsep tentang wahyu, konsep kenabian, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan, konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya. Dikarenakan begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.
Konsep Tuhan dalam Islam, bersifat unik dan final, yang tidak sama dengan konsep Tuhan dalam agama-agama lain, seperti; Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu. Berbeda juga dengan  konsep Tuhan dalam tradisi filsafat Yunani maupun dengan tradisi mistik Timur dan Barat. Sebagaimana yang telah djelaskan Al-Attas bahwa:
“The nature of God Understood in Islam is not the same as the conceptions of God Understood in the various religious traditions of the world; nor is it the same as the conceptions of God understood in greek and Hellenistic philosophical tradition; nor as the conceptionsvof God understood in Western philosophical or scientific tradition; nor in that of Occidental and Oriental mystical traditions[1].

konsep Tuhan dalam Islam otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang juga bersifat otentik dan final, lafdhan wa ma’nan dari Allah , Shalih fi kulli zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Prof. Al-Attas menjelaskan “The nature of God as revealed in Islam is Derived from Revelation[2].
Konsep Tuhan dalam Islam bersifat “haq”. Bukan Tuhan hasil personofikasi, sebagaimana agama lain melakukannya sebagai penyelamat, penebus dosa, Bapa, anak, ruh qudus dan sebagainya. Dan bukan juga seperti Tuhan dalam konsepsi Aristotle, yaitu Tuhan filsafat, yang sering diistilahkan dengan penggerak yang tidak bergerak, Tuhan yang ada dalam pikiran manusia. Yang berari bahwa ketika manusia tidak berfikir Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada.  Tuhan adalah Dzat yang transenden dan mutlak, yang sama sekali berbeda dengan makhluknya. Maka tidak tepat manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari pemikiran mereka sendiri mengenai personifikasi ataupun atribusi kepada Dzat Pencipta[3].
Konsep Tuhan dalam Islam telah memperlihatkan kemurnian dan kejelasan dengan konsep Tuhan dalam agama lain (Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dsb) maupun dengan konsep Tuhan dalam pandangan penggagas pluralisme agama. Baik agama lain maupun kaum pluralis, sama-sama menghadapi problem teologis. Kalangan non muslim membangun konsep Tuhan di atas landasan yang rapuh, sedangkan kalangan pluralis membangun doktrinnya di atas keraguan-raguan(skeptis)  dengan meragukan kebenaran yang seharusnya diyakini. Dalam tulisan ini, penulis membatasi pembahasan pada konsep Tuhan tiga agama semitik(Yahudi, Kristen, Islam)  dan Tuhan dalam pandangan Pluralisme agama.
Makna Laa ilaaha illallah
Konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan dalam al-Qur’an yang tergambar dalam syahadat tauhid “Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah” (tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Seseorang yang bertauhid, akan mengikrarkan dan meyakini, bahwa satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah. Bukan Tuhan yang lain. Kemudian ia juga harus menyatakan bahwa Muhammad sebagai utusan Allah yang membawa risalah untuk mengenalkan Allah kepada hambanya. Tauhid disini dinamakan tauhidullah, yakni pengenalan dan pengakuan akan Allah Yang maha Esa sebagai satu-satunya Tuhan[4].
Konsep Laa ilaaha illallah, banyak kita temukan dalam al-Qur’an, diantaranya, Dalam surah Muhammad, Allah telah menyatakan “ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah”[5]. Dalam surah Thaha, Allah berfirman, “ Aku memilihmu, maka perhatikan apa yang akan diwahyukan kepadamu. Sesunggunya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan selain-Ku. Karena itu, sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk mengingat-Ku[6]. Ayat ini merupakan wahyu[7] yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Kemudian juga dalam surat al-Isra’, Allah berfirman, “Tidak ada Tuhan selain Dia”[8].  Dari beberapa ayat tersebut,nampak jelas bahwa Tuhan dalam Islam adalah Allah.
Selain terdapat dalam Al-Qur’an, konsep Laa ilaaha illallah  juga terdapat dalam beberapa hadis. Diantaranya, dari ‘Abd Allah ibn Abi Qotadah dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw. bersabda, siapa yang mengucap, ‘Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah’, dengan lisannya, dan dengan ini kalbunya tentram, niscaya ia diharamkan menghuni neraka[9]. Riwayat lain, dari Mu’ad ibn Jabal meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Siapa yang akhir perkataannya Laa Ilaaha Illallah lalu meninggal Dunia, niscaya ia masuk surga[10].

Makna Allah
Allah adalah sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci , yang maha mulia; daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut istilah-istilah yang mereka tentukan[11].
Istilah nama Allah sebagai nama Tuhan, sangat jelas identik dengan konsep ketuhanan dalam Islam. Tidak ada agama lain, kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan nama Lafadz Allah untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak terdapat problem dalam penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan pun, dan siapapun, umat Islam akan selalu menyebut Tuhannya dengan  “Allah”. Hal ini dikarenakan nama Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan sumber yang utama, wahyu al-Qur’an, dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal.
Allah swt. (Allah, kata agung (lafadz al-jalalah) adalah nama diri (ism al-dzat) Tuhan, nama esensi dan totalitas-Nya. Kata itu tersusun dari empat huruf. Jika huruf  pertama, alif dihilangkan, tiga huruf  lainnya simbol alam semesta, wujud, yang mencakup alam nyata (dunya) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang; alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah) . Huruf pertama, alif, merupakan smuber segala sesuatu, dan huruf terakhir, hu (Dia), adalah sifat Allah yang paling sempurna, Yang Mahasuci dari semua sekutu[12].
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilaah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa[13]. Menurut Ibnu Katsir, lafadz Allah termasuk ism Jamid[14]. Jadi lafadz Allah bukan bersal dari ilaah[15].
Konsep Allah juga telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu menerangkan masalah makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab pra-Islam dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah, yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat orang-orang Arab pra Islam yang berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang mereka pahami. Kedua, orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra Islam yang menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah  berarti Tuhan Injil. Ketiga, Orang-orang Arab  pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen dan non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Hal ini terjadi ketika seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan Al-A’sha Al-Kabar menulis puisi pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah kearah monoteisme[16]. Konsep Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah, dapat diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit dan bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air dari langit, tempat menggantungkan harapan[17].
Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam, yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya. Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik menjalani kehidupan.
Allah juga merupakan sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi, terunik; zat yang maha suci , yang maha mulia; daripada-Nya kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut istilah-istilah yang mereka tentukan[18].
Secara kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilaah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa.
Dalam kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya mengutusnya membawa Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan nasab-Nya. Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya dengan menggunakan kalimat perintah:
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.  Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.
Surah al-Ikhlash ini berisi sebagian al-asma’ul husna. Pengertian “Allah Ahad’ adalah Allah itu satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan-Nya. Ibnu Abbas dan sekelompok mufassir al-Qur’an berkomentar bahwa pengertian Allah Ahad adalah Allah itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. [19] Sebagian filsuf  Arab, diantaranya Ibnu Sina, berpendapat bahwa pengertian ‘Allah Ahad’’ adalah bahwa Allah itu satu (sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan keterdahuluan-Nya, serta tidak ada sesuatupun  yang menyertai-Nya dalam sifat-sifat wajib-Nya. Dia wajib bersifat ada dan mengetahui segala sesuatu, hidup namun tidak akan mati, mengubah namun tidak pernah berubah[20]
Menurut sebagian pakar bahasa, Allah SWT. Berfirman, “Qul huwa Allahu Ahad”, bukan “Qul huwa Allahu Wahid”. Kata Wahid termasuk kategori bilangan sehingga sangat mungkin yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun kata Ahad tidak dapat dibagi lagi, baik dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifat-Nya.
B.     Konsepsi Ketuhanan dalam Agama Yahudi dan Krisen
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, wacana ketuhanan agama non muslim (terutama Yahudi dan Kristen) mengalami perdebatan yang panjang dan tidak berujung. Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, penyebutan nama Tuhan masih problematik, dikarenakan sumber kitab sucinya yang mengalamai penyelewengan (tahrif) sehingga tidak otentik. Dalam sejarahnya Kalangan Yahudi, sampai saat ini, masih belum mengenal Tuhan yang sebenarnya. Mereka juga belum ada kesepakan untuk menyembah Tuhan yang Esa, sebagaimana para nabi mengajarkan ketauhidan kepada kaumnya. Sehingga, sejatinya, mereka belum menemukan dan masih berspekulasi tentang nama Tuhan yang pasti. Sementara, Kalangan Yahudi modern hanya menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah yahweh.
Ketika nabi Musa datang mendakwahkan Tauhid kepada Bani Israil, menurut pakar sejarah Barat Will Durant, Kaum Bani Israil sebagian tidak meninggalkan sama sekali penyembahan kepada kambing, dan lembu. Karena hewan-hewan tersebut menjadi lambang Tuhan mereka[21]. Sehingga sejak awal memang kaum Yahudi memiliki tradisi paganisme yang sulit dihilangkan-bahkan sejak awal sejak nabi Musa sampai nabi Isa diangkat menjadi Rasul. Maka sangat wajar jika nabi Musa meniggalkan kaumnya beberapa saat untuk pergi ke gunung, untuk menerima wahyu dari Allah, kaumnya menyembah patung sapi yang terbuat dari emas  yang dibaut oleh Musa samiri[22]. Padahal mereka ditinggal nabi Musa untuk beberapa hari saja dan nabi Musa sudah melimpahkan urusan Dakwahnya kepada nabi harun as[23].
Kepercayaan yang kuat terhadap misitsme di kalangan Yahudi tersebut, ternyata menjadikan suburnya budaya sihir pada zaman itu. Banyak lahir tukang sihir ketika nabi Musa as diangkat menjadi Rasul. Bahkan Will Durant, mengisahkan ketika nabi Musa diberi Mu’jizat mengubah tongkat menjadi ular, orang-orang Yahudi lantas beraggapan bahwa nabi Musa dan nabi Harun adalah tokoh penyihir. Dengan kisah tersebut, maka tersebarlah ilmu sihir dikalangan bani Israil, sampai akhirnya mempengaruhi kepercayaan mereka[24]
Budaya paganisme Bani Israil yang kuat juga dapat dibuktikan dalam suatu kisah di Bibel kitab Raja-Raja, bahwa nabi Musa pernah membuat seekor ular dari tembaga yang  kemudian disembah oleh kaumnya[25]. Prof. Ahmad Syalabi, seorang pakar perbandingan agama dari Mesir, mengatakan bahwa tradisi penyembahan yang dilakukan oleh agama Yahudi banyak dipengaruhi oleh kebiasaan bangsa Kan’an. Bangsa Yahudi menurut syalabi begitu mudah terpengaruh oleh bangsa Kan’an dalam beragama. Tuhan yang disembah oleh bangsa Kan’an kemudian diambil alih oleh bangsa Israil. Bahkan setelah bangsa Israil mendiami negeri Kan’an itu, tempat ibadah mereka menyatu yang didalamnya terdapat berhala Yahwah-sebutan bangsa Israil- dan berhala Baal, Tuhan kaum Kan’an. Maka ketika bersembahyang kadang-kadang kaum Yahudi di Kan’an menyebut kedua Tuhan, Yahweh dan Baal[26] .
Harold Bloom, dalam bukunya, Jesus and Yahweh, juga menulis, bahwa YHWH adalah nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui bagaimana mengucapkannya:
“The four-Letter YHWH is God’s proper name in the Hebraw Bible, where it appears some six thousand times. How the name was pronounced we never will know.”[27]
Dalam bukunya, The History of Allah, tokoh Kristen Ortodoks Syiria, Bambang Noorsena menulis bab berjudul “Bolehkah nama YHWH (TUHAN) diterjemahkan dalam bahasa-bahasa lain?”. Ia menulis.
“Sejak kitab suci Perjanjian Baru ditulis oleh para rasul Kristus, tetagram (keempat huruf suci YHWH, Yahwe) diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, Kyrios (TUHAN). Cara ini mengikuti kebiasaan Yahudi, yang juga diikuti oleh Yesus dan para Rasul-Nya yang biasanya melafalkan Yahwe dengan Adonai (TUHAN) atau ha shem (Nama segala nama)[28]
Dari sini nampak bahwa agama Yahudi mengalami problem ketuhanan dan problem juga dalam Kitab Sucinya, oleh karenanya, kaum Yahudi kesulitan untuk memastikan cara melafalzkan nama Tuhannya. Kaum Yahudi juga meyakini bahwa Tuhan mereka sebagai tuhan dalam bentuk jamak, dengan menyatakan Tuhan Elohim telah mengawini putri-putri manusia[29]. Selian itu, Tuhan juga diyahkini sebagai bapak dari Raja Yahudi[30].
Secara bertahap, kaum Yahudi menyadari bahwa Tuhan mereka bukan hanya satu tuhan di antara banyak tuhan. Tuhan mereka adalah satu-satunya Tuhan, dan “tuhan-tuhan” yang lain adalah hasil ciptaan manusia sendiri.[31] Dan Tuhan adalah bapak mereka dalam pengertian sesungguhnya (Hosea 1:10).[32] Dalam pandangan Yahudi Tuhan telah memilih mereka sebagai manusia pilihan. Karena dipilih untuk dijadikan istri Tuhan, maka mereka merasa memiliki kedudukan yang tinggi.
Dalam tradisi Ibrani, nama Yahweh dianggap bukan nama yang sebenarnya, melainkan berasal dari nama ehyeh atu hayah[33]. Dalam kitab Gerakan Nama Suci, Nama Allah ynag dipermasalahkan, Herlianto mengutip pernyataan Freedman, ternyata asal-usul nama Yahweh itun tidak jelas, akan tetapi, nama itu menunjuk kepada sumber dari tradisi kaum Median dan kaum Kenit[34].Dengann adanya dua kaum tersebut, maka juga ikut mempengaruhi keberagaman orang Israel, dan menyatakan bahwa nama yahweh berasal dari luar tradisi Ibrani.
Dari sini nampak bahwa nama Tuhan dalam tradisi Yahudi masih bersifat spekulasi. Sehingga banyak menimbulkan kontroversi diantara mereka. Karena nama Tuhan Yahudi masih problematik, maka kaum Yahudi ortodoks mengambil sikap untuk tidak menggunakan  kata Yahweh sebagai sebutan nama Tuhan mereka. Sebagai gantinya, Kaum yahudi Ortodoks menggunakan sebutan Adoney atau Ha syem. Akan tetapi penggunaan nama inipun masih problematik dan menimbulkan kontroversial. Sebabnya, kedua nama tersebut dalam pengucapannya terkadang  disamakan dengan Yahweh, atau Tuhan, dan pada beberapa tempat tertentu diartikan sebagai Tuan.  Sementara bila Adonay dimaksudkan berasal dari bahasa Yunani maka maknanya adalah Tuhan[35].
Dalam penyebutan nama Tuhan, ternyata, orang Yahudi tidak hanya menggunakan sebutan Adoney, Ha syem, ataupun Yahweh. Akan tetapi juga ada sebutan lain untuk Tuhan mereka, yaitu El/Elohim atau Eolah. Dalam tradisi Yunani, nama ini dapat digunakan sebagai nama diri atau nama generik. Kata El, dalam Al-Kitab Perjanjian lama digunakan untuk sebutan Tuhan orang Israel. Dalam The interpreters Dictionary of Bible, El digunakan sebagai sinonim Yahweh[36]. Adapun kata Elohim digunakan untuk menyebut nama diri Allah dalam bentuk jamak. Elohim kebanyakan digunakan untuk penyebutan gelar, sementara Eolah di artitikan sebagai God (Tuhan).
Menurut, Ellen Kristi, untuk mencari kejelasan tentang Yahweh, dapat ditelusuri dalam Al-Kitab Interlinier (terjemahan langsung) Ibrani-Yunani-Inggris. Dalam teks aslinya, kata Tuhan ternyata ditulis dalam empat huruf mati (tetramaton) saja. Yaitu YHWH.  Karena terdiri atas konsonan semua, tentu saja tetagramaton ini tidak dapat dibaca. Namun dari berbagai sumber informasi, nama tersebut ada yang membaca “Yahweh”, ada pula yang menyebut “Yehova”. Ada yang menyingkat sebutan Yahweh dengan “Yah”. Misalnya pada ungkapan “Haleluyah” (Terpujilah Yah)[37].
Spekulasi Yahudi tentang nama Tuhan tersebut, berdampak pada konsepsi Kristen tentang nama Tuhan yang bermacam-macam. Sebagai contoh, di negara Arab, umat kristen menyebut Tuhannya dengan “Alloh”, seperti orang Islam menyebutnya, di Barat umat kristen menyebut Tuhannya dengan “God” atau “Lord”. Dalam pandangan Noorsena, kata Allah, meskipun di lingkungan Kristen Arab tidak dipahami sebagai “nama diri”, sebutan ini begitu sentral kedudukannya dalam bahasa Arab. Jadi, karena dalam tradisi Kristen, Allah tidak dianggap sebagai nama diri (proper name), maka mereka diperbolehkan menyebut nama Tuhan dengan berbagai panggilan.
Lafadz Allah dalam tradisi Kristen bukan termasuk ismu dzat (nama diri). Buktinya, masih banyak perdebatan seputar nama Allah sebagai nama Tuhan dalam agama Kristen. Sebagai contoh, munculnya kelompok yang menamakan diri Gerakan Nama Suci (Sacred Name Movement)[38], dengan menolak pemakain kata Allah dalam Bible kemudian mengganti dengan nama Yahweh. Kelompok ini perpandangan bahwa nama Allah adalah bukan nama Tradisi Yudaik, akan tetapi nama itu adalah nama dewa orang Arab pada abad ke-7. Oleh karena itu, lafadz Allah yang ada dalam Al-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru harus diganti dengan Elohim atau Yahweh. Di Indoneisa, gerakan ini mengganti nama Allah dengan kata Elohim , kata Tuhan di ganti dengan Yahweh dan Yesus di ganti dengan Yesua Hamsyah[39].
Kristen, tidak hanya mengalamai problem nama Tuhan, tetapi juga mengalami permasalahan ketuhanan Yesus[40]. Dalam pemikiran Paulus[41], ia memperoleh suatu metafisik yang serius. Paulus berpandangan, setiap orang yang saleh, ia dapat menyatakan seperti apa yang dikatakan Yesus. Yaitu, Aku dan bapaku (Tuhan) adalah satu dalam pengertian keserasian total dalam kehendak Tuhan[42]. Para teolog Kristen pun tidak menolak pemikiran ini, bahkan menerima begitu saja semua unsur sebagai satu kesatuan yang transenden. Kitab kejdian 1:26 menyebut tiga pribadi dalam diri Tuhan.
 Konsep ketuhanan Kristen ini, kemudian mengalamai perubahan besar dan mendasar yang kemudian dalam konsili Nicea[43] 325 diputuskan mengenai identitas Tuhan Kristen. Tuhan bapak, anak dan ruhul qudus merupakn Tuhan Kristen yang merekaa sebut dengan Trinitas. Trinitas ini pun dikalangan mereka juga mengalami problem mendasar, yang kemudian lahirlah konsili konstantin pada 381. Dalam konsili ini diputuskan dan di evaluasi mengenai status Tuhan Kristen. Problem ketuhanan dalam Kristen terus menemukan problem yang misterius. 
Konsep Tuhan ala Kristen inilah yang ditentang oleh Islam. Sayyid Muhammad Behesthi mengatakan, “Al-Qur’an dengan tegas dan lugas mengatakan bahwa: tiada Tuhan selain Allah.  Konsep tauhid dalam Al-Qur’an tidak pernah menyatakan bahwa Tuhan Pencipta itu adalah Tuhan dari segala tuhan. Sedangkan dalam agama-agama lainnya keesaan Tuhan itu kadang tidak dinyatakan secara konsisten”.[44] Kekeliruan Yahudi dan Nasrani juga dengan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan orang-orang Yahudi serta Nasrani mengatakan: ‘Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya.’” (Q.S. Al-Maidah: 18). Yang dimaksud dengan kalimat “Kami adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”, menurut Imam Ibnu Al-Jauzi adalah Uzair dan Isa a.s[45].
Bagi umat Islam, penyebutan nama Tuhan yang bersifat spekulatif tentu sangat bermasalah. Sebab, hal ini bisa mengaburkan konsep tauhid Islam. Penyebutan kata “Allah” di dalam Al-Qur’an menandakan bahwa penyematan nama untuk Dzat Yang Maha Kuasa haruslah bersumber dari Allah sendiri dengan sifat-sifat yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Berkenaan dengan al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka al-Qur'an dalam epistemologi Islam merupakan sumber informasi yang benar yang otoritatif (khabar shadiq)[46]. Dengan demikian Konsep Tuhan dalam Islam jels-jels sempurna, karena bersumber pada kitab suci yang otoritatif.

C.      Konsepsi Tuhan dalam Pluralisme Agama
Peradaban Barat dengan gelombang modernismenya, telah medekonstrusi Tauhid umat Islam. Melalui paham liberalisme yang berakar pada konsep relativisme dan skeptisisme[47], sebagian orang telah gemar dan gencar melakukan penelaahan ulang terhadap konsep-konsep yang fundamental dalam agama Islam. Kemudian membentuk arus baru dengan apa yang disebut sebagai pluralisme agama. Penganut Pluralisme agama berasumsi bahwa semua agama sama benarnya, sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. salah satu ‘penyakit’ yang disebar melalui paham ini adalah konsep mengenai Tuhan. John Hick misalnya, menggagas konsep “The Eternal One”, yaitu Tuhan yang menjadi tujuan semua agama. Apa pun jalannya tujuannya tetap satu. Begitulah John Hick berpandangan.
Penganut pluralisme agama menganggap bahwa  Konsep Tuhan agama tertentu, sama dengan konsep Tuhan dalam agama lain. Maka tak heran bila muncul pernyataan seperti: satu Tuhan tiga agama; semua agama dapat bertemu pada tataran esoterik; semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama; banyak jalan menuju Tuhan;  dan lain sebagainya. Padahal konsep Tuhan dalam Islam berbeda dengan agama-agama lain, bahkan juga berbeda dengan tradisi filsafat, budaya dan peradaban lain. Konsep Tuhan dalam Islam adalah unik dan berbeda[48]. Jadi , tidak tepat bila menyamakan konsep Tuhan dalam level transendent tidaklah tepat. Karena, pada level esoterispun, masing-masing agama memiliki konsep Tuhan yang eksklusif yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara agama satu dengan yang lain.
Pemikiran mengenai konsep Tuhan yang sama bisa jadi merupakan pengalaman individu-individu tertentu mengenai agama-agama. Namun, pengalaman tersebut bukanlah agama itu sendiri, karena pengalaman seperti itu tidak dapat diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia, namun hanya diraih oleh golongan tertentu. Jadi kesatuan transendent (transendent unity) seperti itu tidak dapat disebut “agama”, namun hanya merupakan pengalaman keagamaan.
Bagi kaum pluralis, nama Tuhan apapun tidak menjadi masalah, karena dalam pandangan mereka, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif. Oleh karenanya, tidak ada salahnya Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan ataupun yang lain. Salah satu Tokoh pluralisme agama adalah Prof. John Hick, yang menyatakan:

“Ketika kita mengunjungi berbagai tempat ibadat, kita akan menemukan para pemeluk agama datang ke tempat ibadat ma sing-masing untuk membuka pikiran mereka terhadap Realitas yang lebih tinggi, yang dipikirkan sebagai pencipta dan Raja alam semesta, dan sebagai pencipta moral yang sangat diperlukan dalam kehidupan tiap laki-laki dan wanita. Tentu saja pelaksanaaannya berbeda-beda. Yang lebih penting, wujud tertinggi dikenal sebagai Tuhan di Gereja Kristen, sebagai Adonai (Yahweh) di Sinagog Yahudi, sebagai Allah di Masjid orang Islam, sebagai Ekoamkar di Gurdwara Sikh, sebagaai Rama atau Krishna di Kuil Hindu. Tetapi ada satu pengertian penting dimana apa yang sedang dilaksanakan dalam beberapa bentuk pemujaan pada dasarnya sama”[49].

Selanjutnya, Menurut Hick, kesalahan umum yang dilakukan manusia sampai saat ini adalah meyakini bahwa Tuhan yang mereka ketahui melalui ‚kacamata-kacamata‛ tradisional dan kultural mereka –Yahweh, Trinitas, Allah, Krisna, Wisnu, Siwa dsb.– adalah Tuhan atau Realitas ketuhanan yang absolut, dan oleh karenanya merupakan titik pusat dan pangkal keselamatan satu-satunya. Padahal tidak demikian sebenarnya, karena Tuhan-tuhan tersebut, menurut hipotesa Hick, hanyalah gambaran dari Realitas ketuhanan yang Absolut yang Tunggal dan tak terbatas oleh segala macam ungkapan, konsepsi, dan pemahaman[50]. Oleh karena itu‚The Real‛ inilah yang menjadi sentra yang sebenarnya.

Munir Mulkhan juga menulis:
“...... Tuhan dan ajaran atau kebenaran yang satu yang diyakini pemeluk Islam itu bersifat universal. Karena itu, Tuhan dan ajaran-Nya serta kebenaran itu mungkin juga diperoleh pemeluk agama lain dan rumusan konseptual yang berbeda. Konsekuensi dari rumusan di atas bahwa Tuhannya pemeluk agama lain, sebenarnya itulah Tuhan Allah yang dimaksud dan diyakini pemeluk Islam. Kebenaran ajaran Tuhan yang diyakini pemeluk agama itu pula sebenarnya yang merupakan kebenaran yang diyakini oleh pemeluk Islam[51].

....Tuhan yang Maha Tunggal itu adalah Tuhan yang diyakini pemeluk semua agama di dalam beragam nama dan sebutan. Surga dan penyelamatan Tuhan itu adalah surga dan penyelamatan bagi semua orang di semua zaman dalam beragam agama, beragam suku bangsa, dan beragam paham keagamaan. Melalui cara ini, kehadiran Nabi Isa a.s. atau Yesus, Muhammad saw., Buddha Gautama, Konfusius, atau pun nabi dan rasul agama-agama lain, mungkin menjadi lebih bermakna bagi dunia dan sejarah kemanusiaan...”[52]

Pernyataan yang menyatakan bahwa semua agama menyembah pada Tuhan yang sama adalah rancu. Apalagi menyamakan Tuhan Allah dengan Tuhan agama lain. Karena, semua agama yang ada mempunyai sebutan Tuhan yang berbeda-beda dikarenakan konsep Tuhannya memang berbeda. Di kalangan Kristen dan Yahudi, tidak ada penyebutan Tuhan secara khusus karena mengalami problem perdebatan yang tiada habisnya. Agama lain seperti: Hindu; Budha; Khonghucu; juga tidak menggunakan sebutan Tuhan mereka ‘Allah’. Adapun Kaum kristen Arab memakai sebutan Tuhannya Allah seperti halnya dalam agama Islam. Namun itupun yang dimaksud adalah Tuhan Injil yang tidak semua umat Kristen sepakat memakainya.
Pandangan bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, tidak dapat dibenarkan. Sebabnya, dalam Kristen, nama Tuhan masih spekulatif dan problematik. Bahkan dalam Ajaran Kristen pun sudah menyatakan tidak ada keselamatan di luar gereja (“extra ecclesiam nulla salus”). Sikap Eksklusif Kristen ini  juga dinyatakan oleh Martin Forward, dalam bukunya Christians and Religious Pluralism: Patterns in the Christian Theology of Religions, bahwa “The exclusivist maintains that salvation is given only to those who make an explicit commitment to Jesus Christ[53].
Dalam pandangan Islam, jalan menuju Allah hanya satu, yakni Islam, dengan mengikrarkan syahadat Islam (“Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah”).  Jadi tidak ada jalan lain menuju Allah kecuali Islam. Jika mengakui jalan agama samawi lainnya yang telah diselewengkan, tidak mungkin  seorang mufassir dan sahabat Nabi Muhammad saw. sekaliber Ibnu Abbas, mengatakan: “Bagaimana mungkin kamu boleh bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu perkara, sedangkan Kitab kamu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw ini lebih baru. Bacalah ini saja, dan tidak perlu ditambah-tambah[54].
Islam tidak memiliki problem penyebutan Tuhan. Sebab, Konsep Tuhan dalam Islam sudah  otentik dan orisinil. Konsep Islam tentang Tuhan ini telah mematahkan konsep ketuhanan agama Yahudi, kristen yang bersifat spekulatif dan problematik. Begitu juga Tuhannya penganut pluralisme agama yang masih dalam keraguan. Umat Islam diseluruh dunia sudah sepakat untuk menyebut nama Tuhannya dengan Allah. Terdapat asumsi yang kuat bahwa memang Allah telah mengenalkan namanya kepada para nabi dan Rasulnya dengan sebutan ‘Allah’. Sebagimana, ketika Allah hendak memberi wahyu kepad nabi Musa a.s. dengan firmannya:
Sesungguhnya aku Inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu berada dilembah yang Suci, Thuwa. Dan aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu).Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat aku.
Konsep Tuhan dalam Islam yang sudah final ini,disetuji oleh pakr sejarah Karen Amstrong. Ia menyatakan bahwa umat Islam tidak mengalami problem mendasar tentang konsep ketuhanannya. Konsep ini mengesampingkan praduga-praduga (dzanna) yang tidak bisa dibuktikan, yang berebda dengan konsesi ketuhanan agama lain[55]. Dikarenakan Islam memiliki metode yang khas tentang konsep Tuhan, maka tidak ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin dalam menyebutnya.  Untuk memanggil nama-Nya, telah diajarkan oleh Rasulullah saw. secara turun temurun sampai kepada kita dengn sanad yang bersambung sampai kepada Allah. Nama tersebut juga dihaal oleh para hufadz (penghafal al-Qur’an) sehingga konsepsi keagamaan selalu terjaga dengan baik.
Jadi, konsep Tuhan dalam Islam yang otentik dan final dan didasarkan atas wahyu, telah mematahkan asumsi-asumsi konsep-konsep ketuhanan agama lain yang masih problematik. Lafadz “Allah” yang merupakan nama Tuhan, sudah ada sejak zaman arab Pra-Islam. Lafadz tersebut juga yang dipakai Allah untuk mengenalkan diri-Nya kepada makhluknya. Adapun Konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan dalam al-Qur’an yang tergambar dalam syahadat tauhid “Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah” (tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah). Wallahu ‘A’lam Bi As-Shawab.








Daftar Pustaka
Al-Qur’an al-Karim
Al-Kitab, Lembaga Alkitab Indonesia, (1999)
Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005)
Ahmad Syalabi, muqaranatu al-Adyan, (terj. Perbadingan Agama; Agama Yahudi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991)
Al-Raghib al-Asfahani, bab wahyu. Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1415 H/1995 M)
Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogyakarta: Andi, 205)
Donald M. Borchert, Editor in chief, Encyclopedia of Philosophy, Second Edition, Volume 9, (MacMillan Reference USA, 2006)
Ellen Kristi, Yesus Kristus Bukan Allah Tapi Tuhan, (Demak: Borobudur Indonesia Publising, 2009)
Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011)
Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual, (Singapore: Lisan ul-Haq,1998)
Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Riverhead Books, 2005)
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Adzim, (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994)
Herlainto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang dipermasalahkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)
Isma'il Raji Al-Faruqi, Al-Tawhid. Cetakan IV. The International Institute of Islamic Thought, (Herndon USA, 1992)
John Hick, God Has Many Name
Khafrawi Ridwan, MA,  Ensiklopedia Islam, (Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997)
Karen Armstrong, Perang suci: dari perang salib hingga perang teluk, Penerbit Serambi (Jakarta, Oktober  2003)
Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2001)
Martin Forward, Inter-Religious Dialogue: A Short Introduction (England: Oxford, 2007)
Muhammad kamil Hasan Al-Mahami, Al-Maushu’ah al-Qur’aniyyah (terj. Ahmad Fawaid Syadzili; Ensiklopedi Al-Qur’an), (Jakarta Timur: Kharisma Ilmu, 2005)
M. I Ananias, Evolusi Kristen (Yogyakarta: Gelanggang, 2008)
Sayyid Muhammad Husayni Behesthi, Selangkah Menuju Allah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002)
Syed Muhammad  Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphisics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)
The interpreters Dictionary of Bible,Vol. II, (Nashville: Abingdon Press, 1989)
Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhn dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)
Jurnal Islamia, Thn II No 5 April-Juni 2005





[1] S.M. Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphisics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), p. 7.
[2] Ibid, p. 5.
[3] Isma'il Raji Al-Faruqi, Al-Tawhid. Cetakan IV. The International Institute of Islamic Thought, (Herndon USA, 1992). P. 3
[4]
[5] Q.S. Muhammad: 19
[6] Q.S. Thaha:13-14
[7] Secara bahasa kata wahyu memiliki beragam makna. Diantaranya adalah, berbicara secara sembunyi, isyarat atau memberi tanda, memberi informasi secara cepat, memberi informasi secara tertulis atau menuliskan sesuatu dan memberi ilham[7]. Dengan definisi etimologis tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian informasi wahyu tersebut dapat disampaikan dalam tiga bentuk, yaitu melalui komunikasi oral, melalui isyarat panca indera, melaui suara dan  melalui tulisan[7]. Secara terminologis, Ibnu Mandzur mendefinisikan, wahyu adalah pemberian informasi yang tersembunyi yang khusus disampaikan kepada para nabi Allah SWT. Lihat, Ibnu Mandzur, Lisanul Arab bab wahyu. Sementara, definisi syari’ah  mengatakan, bahwa wahyu adalah kalam Allah SWT yang khusus disampaikan kepada para nabi-Nya. Wahyu didefinisikan sebagai pemberitahuan Allah SWT kepada para Nabi-Nya tentang pesan-pesan Ilahi berupa syari'at dan berita-berita  lain secara sembunyi – yang tidak biasa dialami oleh manusia biasa. Lihat,  Al-Raghib al-Asfahani, bab wahyu. Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1415 H/1995 M), p.55.
[8] Q.S. Al-Isra’: 70
[9] H.R. Muslim, Ibn Majah, dan al-Tirmidzi.
[10] H.R. al-Tirmidzi, al-Darami, Ibn Majah, Ahmad
[11] Khafrawi Ridwan, MA,  Ensiklopedia Islam, (Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997), p. 123-124
[12] Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011)
[13] Ibid
[14]  Ism Jamid adalah kata benda yang tidak berasal dari kata lain.
[15] Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘A’dzim Juz 1 (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994), p.40
[16] Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhn dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), p. 105.
[17]  Lihat, Q.S. 29: 61,63; Q.S. 31:25; Q.S.39:38; Q.S.43:9,87; Q.S.13:17; Q.S.16:53; dan  Q.S. 29:65
[18] Khafrawi Ridwan. Ensiklopedia Islam, (Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997), p. 123-124
[19] Muhammad kamil Hasan Al-Mahami, Al-Maushu’ah al-Qur’aniyyah (terj. Ahmad Fawaid Syadzili; Ensiklopedi Al-Qur’an), (Jakarta Timur: Kharisma Ilmu, 2005), p. 20-21
[20] Ibid
[21] Weech, Civilization of the Near east, p. 84 dan 85 dalam Ahmad Salabi, Muqaranatu al-Adyan, (terj. Perbandingan Agama; Agama Yahudi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 171
[22] Samiri adalah kaum Bani israil dari suku Assamirah. Patung sapi yang dibuat Samiri dibuat dari segenggam tanah bekas jejak telapak kaki kuda Jibril as, lalu tanah itu dilempar ke dalam logam, dan dibuatlah sapi yang bisa mengeluarkan suara.
[23] Untuk kisah lebih jelasnya bisa dilihat  dalam QS. Thaha 85-98
[24] Wiil Durant, Qishash al-Hadlarah, Juz 2 p. 339
[25] Bible kitab Raja-Raja (18): 4
[26] Ahmad Syalabi, muqaranatu al-Adyan, (terj. Perbadingan Agama; Agama Yahudi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 172
[27] Lihat, Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Riverhead Books, 2005), p. 127.
[28] Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogyakarta: Andi, 205), p. 23.
[29] Kitab Kejadian Lama, 6:2, 4
[30] Masmur 2:7, 89: 26, Samuel II, 7: 24
[31] Karen Armstrong, Perang suci: dari perang salib hingga perang teluk, Penerbit Serambi (Jakarta, Oktober  2003), hal. 30
[32] Ismail Raji Al-Faruqi, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka Bandung: 1988), p. 20
[33] Ahmad Syalabi, Muqaranatul al-Adyan, (terj. Perbandingan Agama; Agama Yahudi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 172
[34] Herlainto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang dipermasalahkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), p. 98
[35] Ibid., p. 102
[36] The interpreters Dictionary of Bible,Vol. II, (Nashville: Abingdon Press, 1989), p. 411-412.
[37] Ellen Kristi, Yesus Kristus Bukan Allah Tapi Tuhan, (Demak: Borobudur Indonesia Publising, 2009), p. 19
[38]  Sacred Name Movement adalah orang-orang kristen yang terpengaruh tradisi Yahudi. Berdiri pada Tahun 1930 di Amerika Serikat, misi utamanya adalah mengembalikan ajaran kristen kepada akar Yudaik (Hebraic Roots Movement), seperti dalam hal ritual dan penyebutan nama Tuhan, yaitu menyebut nama Tuhan dengan Yahweh
[39] Lebih jelasnya, lihat Herlianto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang dipermaslahkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), p. 93.
[40] Yesus, bagi kaum Kristen adalah Tuhan sebagai penyelamat bagi manusia. Untuk mennguatkan  klimnya, bahwa Yesus itu Tuhan umat Kristen menggunakan banyak sekali ayat-ayat Bible. Diataranya adalah ayat-ayat menceritakan mukjizat Yesus, seperti (1) Yesus menyembuhkan penyakit kusta (Matius 8: 1-4; Markus 1:40-42; dan Lukas 5: 12-130; (2) Yesus menyembuhkan hamba seorang perwira (Matius 8: 5 dan Lukas 7:1-10); (3) Yesus menyembuhkan orang lumpuh (Matius 9: 1-8; Markus 2: 1-12 dan Lukas 5:17-26); (4) Yesus menyembuhkan orang buta (Matius 9:27-31; 20:29-34; Markus 8:22-25; 10: 46-52; Lukas 18:35-43 dan Yohanes 9:1-7); (5) Yesus membangkitkan orang mati (matius 9: 18-26; Markus 5:22-24; 35-43, dan Lukas 8: 41-42). Menurut umat kristen ayat-ayat tersebut menjadi dasar bahwa Yesus itu Tuhan.
[41] Paulus adalah seorang Yahudi dari suku Benyamin beraliran farisi dn Saduki-aliran Yahudi yang sangat keras memusuhi Yesus. Lahir di Kilikia dan menjadi Warga negara Romawi, konon ia tidak pernah bertemu Yesus, karena ia hidup beberapa tahun setelah Yesus ghaib. Lihat kisah lengkapnya pada Kodiran Salim, Paulus merombak ajaran Yesus? (Jakarta: Ulil Albab Pusat Kajian Independen Lintas Kitab Suci, tanpa tahun), p. 53-55. Sebelumnya Jemaat awal Kristen konon masih menyembah Allah yang Esa dan masih menganggap Yesus sebagai utusan Allah. Ketika konsili berlangsung pun terjadi tarik menarik antara kelompok Gereja untuk memutuskan apakah Yesus itu benar-benar Tuhan, anak Tuhan atau seorang Rasul. Kelompok Gereja yang keras menentang keilahian Yesus adalah kaum Arianisme (kelompok Gereja Timur yang meyakini Yesus adalah seorang nabi dan manusia biasa yang mendapat  wahyu dari Allah.Dalam sidang tersebut berjalan alot (yang memakan waktu dua minggu). Pada sidang tersebut terjadi polarisasi aliran Gereja, yang menentang ketuhanan yesus diwakili oleh kelompok Arian dn yang mendukung keilahian Yesus disebut anti-Arianisme dipimpin uskup Athanasius dan Alexander yang kemudian dimenangkan anti-Arianisme berdasarkan voting. Lihat, M. I Ananias, Evolusi Kristen (Yogyakarta: Gelanggang, 2008), p. 248-249.
[42] Karen Armstrong, Perang suci: dari perang salib hingga perang teluk, (Jakarta: Penerbit Serambi, 2003) , hal. 3
[43]  Konsili Nicea adalah konsili oikumenis (mewakili gereja seluruh dunia), Nicea merupakan nama sebutan kota yang sekarang bernama kota inzik Turki. Konsili ini dihadiri oleh sektar 2000 tokoh Gereja. Sekitar 250 di antaranya adalah uskup yang berasal dari Romawi, selebihnya adlah para pendeta dari daerah lain yang kedudukannya di bawah uskup. Keputusan penting konsili ini adalah memutuskan ketuhanan Yesus yang disebut dengan Syahadat Iman Nicea. 
[44] Sayyid Muhammad Husayni Behesthi, Selangkah Menuju Allah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), p.139.
[45] Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual, (Singapore: Lisan ul-Haq,1998), p. 31.
[46] Khabar shadiq adalah sumber ilmu dalam Islam. Ia adalah informasi benar yang memiliki otoritas. Imam al-Nasafi menejelaskan bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua. Pertama, yaitu informasi yang tidak diragukan lagi karena berasal dari banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol untuk berdusta, dan oleh Karena itu merupakan sumber ilmu yang pasti kebenarannya. Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan Rasul SAW yang diperkuat dengan mu'jizat. Informasi jenis ini bersifat istidlaliy. Lihat Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA Thn II No 5 April-Juni 2005.
[47] Skeptisisme berasal dari bahasa Yunani ‚skeptesthai‛ yang berarti menguji, menyelidiki, mempertimbangkan. Ia merupakan pandangan filosofis yang mengatakan bahwa mustahil bagi manusia untuk mengetahui segala sesuatu secara absolut.7 Kaum skeptis selalu meragukan setiap klaim pengetahuan, karena memiliki sikap tidak puas dan masih mencari kebenaran. Lihat, Donald M. Borchert, Editor in chief, Encyclopedia of Philosophy, Second Edition, Volume 9, (MacMillan Reference USA, 2006), hlm. 47
[48] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena......, p.7
[49] John Hick, God Has Many Name, p.40
[50] John Hick berkali-kali mengulang analisis Kantiannya ini di berbagai karyanya, lihat misalnya: Hick, Philosophy of Religion, hlm. 118-121; ---------, ‘Religious Pluralism’, hlm. 159-164; ---------, Problems of Religious Pluralism, hlm.39-44; ---------, An Interpretation of Religion, hlm. 240; ---------, ‘The Real and Its Personae and Impersonae,’ hlm. 143-58.
[51] Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005), p.
182-183
[52] Ibid, p. 190
[53] Lihat Martin Forward, Inter-Religious Dialogue: A Short Introduction (England: Oxford, 2007),
hal. 39
[54] Lihat Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual, (Singapore: Lisan ul-Haq,1998), p. 31.

[55] Karen Amstrong, Sejarah Tuhan (terj), (Bandung: Mizan; 2001), p. 199-200

3 komentar:

  1. dalam surat al-Isra’, Allah berfirman, “Tidak ada Tuhan selain Dia"

    Persepsi: tuhan berkata “Tidak ada Tuhan selain Dia"
    Bagaimana mungkin tuhan megatakan tidak ada tuhan selain "Dia"
    pertanyaannya: "Dia" siapa?

    BalasHapus
  2. Penjelasanya kurang mendalam.konotasinya masih ada unsur merendahkan agama lain.aq ndak suka.pdahal aq sendiri orang islam

    BalasHapus