A. Konsep Tuhan yang Unik dan Otentik
Konsep Tuhan
merupakan konsep yang mendasar bagi setiap agama yang ada. Dari konsep Tuhan tersebut,
lahirlah konsep-konsep Islamic worldview yang lain, seperti; konsep
tentang wahyu, konsep kenabian, konsep alam, konsep manusia, konsep kehidupan,
konsep penciptaan, konsep ilmu, dan konsep-konsep yang lainnya. Dikarenakan
begitu sentralnya konsep Tuhan tersebut, maka perbincangan mengenai agama
apapun, tidak akan terlepas dari pemahaman konsep Tuhan.
Konsep Tuhan
dalam Islam, bersifat unik dan final, yang tidak sama dengan konsep Tuhan dalam
agama-agama lain, seperti; Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Konghucu. Berbeda
juga dengan konsep Tuhan dalam tradisi
filsafat Yunani maupun dengan tradisi mistik Timur dan Barat. Sebagaimana yang
telah djelaskan Al-Attas bahwa:
“The nature of God Understood in Islam is not
the same as the conceptions of God Understood in the various religious
traditions of the world; nor is it the same as the conceptions of God
understood in greek and Hellenistic philosophical tradition; nor as the
conceptionsvof God understood in Western philosophical or scientific tradition;
nor in that of Occidental and Oriental mystical traditions”[1].
konsep Tuhan
dalam Islam otentik dan final, berdasarkan atas wahyu Al-Qur’an yang juga
bersifat otentik dan final, lafdhan wa ma’nan dari Allah , Shalih fi
kulli zaman wa makan, dan tidak ada keraguan di dalamnya. Prof. Al-Attas
menjelaskan “The nature of God as revealed in Islam is Derived from
Revelation”[2].
Konsep Tuhan
dalam Islam bersifat “haq”. Bukan Tuhan hasil personofikasi, sebagaimana
agama lain melakukannya sebagai penyelamat, penebus dosa, Bapa, anak, ruh qudus
dan sebagainya. Dan bukan juga seperti Tuhan dalam konsepsi Aristotle, yaitu
Tuhan filsafat, yang sering diistilahkan dengan penggerak yang tidak bergerak,
Tuhan yang ada dalam pikiran manusia. Yang berari bahwa ketika manusia tidak
berfikir Tuhan, maka Tuhan itu tidak ada.
Tuhan adalah Dzat yang transenden dan mutlak, yang sama sekali berbeda
dengan makhluknya. Maka tidak tepat manusia, sebagai ciptaan, menciptakan dari
pemikiran mereka sendiri mengenai personifikasi ataupun atribusi kepada Dzat
Pencipta[3].
Konsep Tuhan dalam
Islam telah memperlihatkan kemurnian dan kejelasan dengan konsep Tuhan dalam
agama lain (Kristen, Yahudi, Budha, Hindu, dsb) maupun dengan konsep Tuhan
dalam pandangan penggagas pluralisme agama. Baik agama lain maupun kaum
pluralis, sama-sama menghadapi problem teologis. Kalangan non muslim membangun
konsep Tuhan di atas landasan yang rapuh, sedangkan kalangan pluralis membangun
doktrinnya di atas keraguan-raguan(skeptis) dengan meragukan kebenaran yang seharusnya
diyakini. Dalam tulisan ini, penulis membatasi pembahasan pada konsep Tuhan
tiga agama semitik(Yahudi, Kristen, Islam)
dan Tuhan dalam pandangan Pluralisme agama.
Makna
Laa ilaaha illallah
Konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan dalam
al-Qur’an yang tergambar dalam syahadat tauhid “Laa ilaaha illallah,
Muhammadur Rasulullah” (tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah
utusan Allah). Seseorang yang bertauhid, akan mengikrarkan dan meyakini, bahwa
satu-satunya Tuhan yang berhak untuk disembah dan ditaati adalah Allah. Bukan
Tuhan yang lain. Kemudian ia juga harus menyatakan bahwa Muhammad sebagai
utusan Allah yang membawa risalah untuk mengenalkan Allah kepada hambanya.
Tauhid disini dinamakan tauhidullah, yakni pengenalan dan pengakuan akan
Allah Yang maha Esa sebagai satu-satunya Tuhan[4].
Konsep Laa ilaaha illallah, banyak kita
temukan dalam al-Qur’an, diantaranya, Dalam surah Muhammad, Allah telah
menyatakan “ketahuilah bahwa tiada tuhan selain Allah”[5].
Dalam surah Thaha, Allah berfirman, “ Aku memilihmu, maka perhatikan apa
yang akan diwahyukan kepadamu. Sesunggunya Aku ini adalah Allah, tiada Tuhan
selain-Ku. Karena itu, sembahlah Aku dan dirikanlah Shalat untuk mengingat-Ku” [6].
Ayat ini merupakan wahyu[7]
yang diturunkan kepada Nabi Musa a.s. Kemudian juga dalam surat al-Isra’, Allah
berfirman, “Tidak ada Tuhan selain Dia”[8]. Dari beberapa ayat tersebut,nampak jelas bahwa
Tuhan dalam Islam adalah Allah.
Selain terdapat dalam Al-Qur’an, konsep Laa
ilaaha illallah juga terdapat dalam
beberapa hadis. Diantaranya, dari ‘Abd Allah ibn Abi Qotadah dari ayahnya,
bahwa Rasulullah saw. bersabda, siapa yang mengucap, ‘Aku bersaksi tiada
Tuhan selain Allah, dan bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah’, dengan
lisannya, dan dengan ini kalbunya tentram, niscaya ia diharamkan menghuni
neraka[9]. Riwayat
lain, dari Mu’ad ibn Jabal meriwayatkan dari Rasulullah saw. bahwa beliau
bersabda, “Siapa yang akhir perkataannya Laa Ilaaha Illallah lalu
meninggal Dunia, niscaya ia masuk surga[10].
Makna
Allah
Allah adalah
sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud tertinggi, terunik;
zat yang maha suci , yang maha mulia; daripada-Nya kehidupan berasal dan
kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno menamai Allah swt. Antara
lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak pertama, Penggerak Yang
tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah SWT. Adalah tuntutan
setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia merasakan dan menyadari
kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan menamai-Nya menurut
istilah-istilah yang mereka tentukan[11].
Istilah nama Allah sebagai nama Tuhan, sangat
jelas identik dengan konsep ketuhanan dalam Islam. Tidak ada agama lain,
kecuali Islam yang tegas dan jelas serta sepakat menggunakan nama Lafadz Allah
untuk menyebut nama Tuhan mereka. Karena tidak terdapat problem dalam
penyebutan nama Tuhannya, maka dimana pun, kapan pun, dan siapapun, umat Islam
akan selalu menyebut Tuhannya dengan “Allah”.
Hal ini dikarenakan nama Tuhan dalam Islam ditetapkan berdasarkan sumber yang
utama, wahyu al-Qur’an, dan bukan berdasarkan tradisi ataupun budaya, ataupun
konsensus (konsili). Karena itu, umat Islam tidak mengalami perselisihan
tentang nama Tuhan. Dan soal nama Tuhan tersebut sudah final sejak awal.
Allah swt. (Allah, kata agung (lafadz
al-jalalah) adalah nama diri (ism al-dzat) Tuhan, nama esensi dan
totalitas-Nya. Kata itu tersusun dari empat huruf. Jika huruf pertama, alif dihilangkan, tiga huruf lainnya simbol alam semesta, wujud, yang
mencakup alam nyata (dunya) dan langit gaib di atas cakrawala bintang gemilang;
alam kubur (barzakh) dan surga; akhirat (akhirah) . Huruf pertama, alif,
merupakan smuber segala sesuatu, dan huruf terakhir, hu (Dia), adalah sifat
Allah yang paling sempurna, Yang Mahasuci dari semua sekutu[12].
Secara
kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu
mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata Ilaah
(Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan atau Yang
maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai kata sandang
tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai nama Zat Yang
Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah adalah satu-satunya
ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang dipakai bagi Zat yang Maha
Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada sifat-sifat-Nya jika menunjukkan
kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang Maha Perkasa, artinya Allah
mempunyai sifat perkasa[13].
Menurut Ibnu Katsir, lafadz Allah termasuk ism Jamid[14].
Jadi lafadz Allah bukan bersal dari ilaah[15].
Konsep
Allah juga telah ada sejak masyarakat Arab pra-Islam. Toshihiko Izutsu
menerangkan masalah makna relasional kata Allah dikalangan orang-orang Arab
pra-Islam dengan tiga kasus. Pertama, adalah konsep Pagan tentang Allah,
yaitu orang Arab Murni. Di sini terlihat orang-orang Arab pra Islam yang
berbicara tentang “Allah” sebagaimana yang mereka pahami. Kedua,
orang-orang Yahudi dan Kristen zaman pra Islam yang menggunakan kata Allah
untuk menyebut Tuhan mereka sendiri. Di sini tentu saja “Allah berarti Tuhan Injil. Ketiga, Orang-orang
Arab pagan, Arab jahiliyah murni non-kristen
dan non-Yahudi yang mengambil konsep Tuhan Injil, “Allah”. Hal ini terjadi
ketika seorang penyair Badwi yang bernama Nabighah dan Al-A’sha Al-Kabar
menulis puisi pujian yang mengarah pada konsep Arap tentang Allah kearah
monoteisme[16].
Konsep Allah menurut masyarakat Arab pra-Islam, khususnya penduduk Mekkah,
dapat diketahui melalui al-Qur’an. Allah SWT bagi mereka adalah pencipta langit
dan bumi, yang memudahkan peredaran matahari dan bulan, yang menurunkan air
dari langit, tempat menggantungkan harapan[17].
Tuhan yang haq dalam konsep
al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran
ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran
diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum
Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan
surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam
surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.
Menurut informasi al-Quran,
sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”,
dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang
datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya
Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya
esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi
bagian-bagian.
Keesaan Allah adalah mutlak. Ia
tidak dapat didampingi atau disejajarkan dengan yang lain. Sebagai umat Islam,
yang mengikrarkan kalimat syahadat La ilaaha illa Allah harus
menempatkan Allah sebagai prioritas utama dalam setiap tindakan dan ucapannya. Konsepsi kalimat La ilaaha illa Allah yang bersumber dari
al-quran memberi petunjuk bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk mencari
Tuhan yang lain selain Allah dan hal itu akan kelihatan dalam sikap dan praktik
menjalani kehidupan.
Allah
juga merupakan sebutan atau nama Tuhan (tiada Tuhan selain Allah); wujud
tertinggi, terunik; zat yang maha suci , yang maha mulia; daripada-Nya
kehidupan berasal dan kepada-Nya kehidupan kembali. Para filsuf dizaman kuno
menamai Allah swt. Antara lain dengan nama Pencipta, Akal Pertama, Penggerak
pertama, Penggerak Yang tiada Bergerak, Puncak Cinta, dan Wajib al-Wujud. Allah
SWT. Adalah tuntutan setiap jiwa manusia. Setiap puak dan bangsa manusia
merasakan dan menyadari kehadiran-Nya sejak masa yang paling awal dan
menamai-Nya menurut istilah-istilah yang mereka tentukan[18].
Secara
kebahasaan, kata Allah sangat mungkin berasal dari kata al-Illah. Kata itu
mungkin pula berasal dari bahasa aramea, Alaha yang artinya Allah. Kata
Ilaah (Tuhan yang disembah) dipakai untuk semua yang dianggap sebagai Tuhan
atau Yang maha Kuasa. Dengan penambahan huruf Alif laam di depannya sebagai
kata sandang tertentu, maka kata Allah dari kata al-ilaah dimasudkan sebagai
nama Zat Yang Maha Esa, Maka Kuasa, dan Pencipta Alam semesta. Kata Allah
adalah satu-satunya ism alam atau kata yang menunjukkan nama yang
dipakai bagi Zat yang Maha Suci. Nama-nama lain sekaligus mengacu pada
sifat-sifat-Nya jika menunjukkan kealaman Zat Allah, seperti al-Aziz atau Yang
Maha Perkasa, artinya Allah mempunyai sifat perkasa.
Dalam
kaitannya penyebutan Allah sebagai sebutan Tuhan, kaum musyrik Quraisy dan kaum
Yahudi bertanya kepada Rasulullah SAW tentang Tuhannya mengutusnya membawa
Risalah Islam. Mereka meminta beliau menerangkan Tuhannya serta menyebut kan
nasab-Nya. Maka Allah SWT pun mengutus Jibril as. Dengan membawa surah
al-Ikhlash (At-Tauhid). Dalam surah itu Allah swt berbicara kepada Rasul-Nya
dengan menggunakan kalimat perintah:
Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan.
Surah
al-Ikhlash ini berisi sebagian al-asma’ul husna. Pengertian “Allah Ahad’ adalah
Allah itu satu, tak ada sekutu bagi-Nya, dan tak ada yang setara dengan-Nya.
Ibnu Abbas dan sekelompok mufassir al-Qur’an berkomentar bahwa pengertian Allah
Ahad adalah Allah itu satu, tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. [19]
Sebagian filsuf Arab, diantaranya Ibnu
Sina, berpendapat bahwa pengertian ‘Allah Ahad’’ adalah bahwa Allah itu satu
(sendiri) dalam ketuhanan-Nya dan keterdahuluan-Nya, serta tidak ada sesuatupun yang menyertai-Nya dalam sifat-sifat
wajib-Nya. Dia wajib bersifat ada dan mengetahui segala sesuatu, hidup namun
tidak akan mati, mengubah namun tidak pernah berubah[20].
Menurut
sebagian pakar bahasa, Allah SWT. Berfirman, “Qul huwa Allahu Ahad”, bukan “Qul
huwa Allahu Wahid”. Kata Wahid termasuk kategori bilangan sehingga
sangat mungkin yang lainnya juga masuk ke dalamnya. Adapun kata Ahad
tidak dapat dibagi lagi, baik dalam Zat-Nya maupun pengertian sifat-sifat-Nya.
B.
Konsepsi Ketuhanan dalam Agama Yahudi dan Krisen
Sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, wacana ketuhanan agama non muslim (terutama
Yahudi dan Kristen) mengalami perdebatan yang panjang dan tidak berujung. Dalam
tradisi Yahudi dan Kristen, penyebutan nama Tuhan masih problematik,
dikarenakan sumber kitab sucinya yang mengalamai penyelewengan (tahrif)
sehingga tidak otentik. Dalam sejarahnya Kalangan Yahudi, sampai saat ini,
masih belum mengenal Tuhan yang sebenarnya. Mereka juga belum ada kesepakan
untuk menyembah Tuhan yang Esa, sebagaimana para nabi mengajarkan ketauhidan
kepada kaumnya. Sehingga, sejatinya, mereka belum menemukan dan masih berspekulasi
tentang nama Tuhan yang pasti. Sementara, Kalangan Yahudi modern hanya
menduga-duga, bahwa nama Tuhan mereka adalah yahweh.
Ketika
nabi Musa datang mendakwahkan Tauhid kepada Bani Israil, menurut pakar sejarah
Barat Will Durant, Kaum Bani Israil sebagian tidak meninggalkan sama sekali
penyembahan kepada kambing, dan lembu. Karena hewan-hewan tersebut menjadi lambang
Tuhan mereka[21].
Sehingga sejak awal memang kaum Yahudi memiliki tradisi paganisme yang sulit
dihilangkan-bahkan sejak awal sejak nabi Musa sampai nabi Isa diangkat menjadi
Rasul. Maka sangat wajar jika nabi Musa meniggalkan kaumnya beberapa saat untuk
pergi ke gunung, untuk menerima wahyu dari Allah, kaumnya menyembah patung sapi
yang terbuat dari emas yang dibaut oleh
Musa samiri[22].
Padahal mereka ditinggal nabi Musa untuk beberapa hari saja dan nabi Musa sudah
melimpahkan urusan Dakwahnya kepada nabi harun as[23].
Kepercayaan
yang kuat terhadap misitsme di kalangan Yahudi tersebut, ternyata menjadikan
suburnya budaya sihir pada zaman itu. Banyak lahir tukang sihir ketika nabi
Musa as diangkat menjadi Rasul. Bahkan Will Durant, mengisahkan ketika nabi Musa
diberi Mu’jizat mengubah tongkat menjadi ular, orang-orang Yahudi lantas
beraggapan bahwa nabi Musa dan nabi Harun adalah tokoh penyihir. Dengan kisah
tersebut, maka tersebarlah ilmu sihir dikalangan bani Israil, sampai akhirnya
mempengaruhi kepercayaan mereka[24]
Budaya
paganisme Bani Israil yang kuat juga dapat dibuktikan dalam suatu kisah di
Bibel kitab Raja-Raja, bahwa nabi Musa pernah membuat seekor ular dari tembaga
yang kemudian disembah oleh kaumnya[25].
Prof. Ahmad Syalabi, seorang pakar perbandingan agama dari Mesir, mengatakan
bahwa tradisi penyembahan yang dilakukan oleh agama Yahudi banyak dipengaruhi
oleh kebiasaan bangsa Kan’an. Bangsa Yahudi menurut syalabi begitu mudah
terpengaruh oleh bangsa Kan’an dalam beragama. Tuhan yang disembah oleh bangsa
Kan’an kemudian diambil alih oleh bangsa Israil. Bahkan setelah bangsa Israil mendiami
negeri Kan’an itu, tempat ibadah mereka menyatu yang didalamnya terdapat
berhala Yahwah-sebutan bangsa Israil- dan berhala Baal, Tuhan kaum Kan’an. Maka
ketika bersembahyang kadang-kadang kaum Yahudi di Kan’an menyebut kedua Tuhan,
Yahweh dan Baal[26] .
Harold
Bloom, dalam bukunya, Jesus and Yahweh, juga menulis, bahwa YHWH adalah
nama Tuhan Israel yang tidak pernah bisa diketahui bagaimana mengucapkannya:
“The
four-Letter YHWH is God’s proper name in the Hebraw Bible, where it appears
some six thousand times. How the name was pronounced we never will know.”[27]
Dalam
bukunya, The History of Allah, tokoh Kristen Ortodoks Syiria, Bambang
Noorsena menulis bab berjudul “Bolehkah nama YHWH (TUHAN) diterjemahkan dalam
bahasa-bahasa lain?”. Ia menulis.
“Sejak
kitab suci Perjanjian Baru ditulis oleh para rasul Kristus, tetagram (keempat
huruf suci YHWH, Yahwe) diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, Kyrios (TUHAN).
Cara ini mengikuti kebiasaan Yahudi, yang juga diikuti oleh Yesus dan para
Rasul-Nya yang biasanya melafalkan Yahwe dengan Adonai (TUHAN) atau ha shem
(Nama segala nama)[28]
Dari sini nampak bahwa agama Yahudi mengalami problem ketuhanan dan
problem juga dalam Kitab Sucinya, oleh karenanya, kaum Yahudi kesulitan untuk
memastikan cara melafalzkan nama Tuhannya. Kaum Yahudi juga meyakini bahwa
Tuhan mereka sebagai tuhan dalam bentuk jamak, dengan menyatakan Tuhan Elohim
telah mengawini putri-putri manusia[29].
Selian itu, Tuhan juga diyahkini sebagai bapak dari Raja Yahudi[30].
Secara
bertahap, kaum Yahudi menyadari bahwa Tuhan mereka bukan hanya satu tuhan di
antara banyak tuhan. Tuhan mereka adalah satu-satunya Tuhan, dan “tuhan-tuhan”
yang lain adalah hasil ciptaan manusia sendiri.[31]
Dan
Tuhan adalah bapak mereka dalam pengertian sesungguhnya (Hosea 1:10).[32]
Dalam pandangan Yahudi Tuhan telah memilih mereka sebagai manusia pilihan.
Karena dipilih untuk dijadikan istri Tuhan, maka mereka merasa memiliki
kedudukan yang tinggi.
Dalam
tradisi Ibrani, nama Yahweh dianggap bukan nama yang sebenarnya, melainkan berasal
dari nama ehyeh atu hayah[33].
Dalam kitab Gerakan Nama Suci, Nama Allah ynag dipermasalahkan, Herlianto
mengutip pernyataan Freedman, ternyata asal-usul nama Yahweh itun tidak jelas,
akan tetapi, nama itu menunjuk kepada sumber dari tradisi kaum Median dan kaum
Kenit[34].Dengann
adanya dua kaum tersebut, maka juga ikut mempengaruhi keberagaman orang Israel,
dan menyatakan bahwa nama yahweh berasal dari luar tradisi Ibrani.
Dari
sini nampak bahwa nama Tuhan dalam tradisi Yahudi masih bersifat spekulasi. Sehingga
banyak menimbulkan kontroversi diantara mereka. Karena nama Tuhan Yahudi masih
problematik, maka kaum Yahudi ortodoks mengambil sikap untuk tidak
menggunakan kata Yahweh sebagai sebutan
nama Tuhan mereka. Sebagai gantinya, Kaum yahudi Ortodoks menggunakan sebutan Adoney
atau Ha syem. Akan tetapi penggunaan nama inipun masih problematik dan
menimbulkan kontroversial. Sebabnya, kedua nama tersebut dalam pengucapannya
terkadang disamakan dengan Yahweh, atau
Tuhan, dan pada beberapa tempat tertentu diartikan sebagai Tuan. Sementara bila Adonay dimaksudkan berasal
dari bahasa Yunani maka maknanya adalah Tuhan[35].
Dalam
penyebutan nama Tuhan, ternyata, orang Yahudi tidak hanya menggunakan sebutan Adoney,
Ha syem, ataupun Yahweh. Akan tetapi juga ada sebutan lain untuk
Tuhan mereka, yaitu El/Elohim atau Eolah. Dalam tradisi Yunani,
nama ini dapat digunakan sebagai nama diri atau nama generik. Kata El, dalam
Al-Kitab Perjanjian lama digunakan untuk sebutan Tuhan orang Israel. Dalam The
interpreters Dictionary of Bible, El digunakan sebagai sinonim Yahweh[36].
Adapun kata Elohim digunakan untuk menyebut nama diri Allah dalam bentuk jamak.
Elohim kebanyakan digunakan untuk penyebutan gelar, sementara Eolah di
artitikan sebagai God (Tuhan).
Menurut,
Ellen Kristi, untuk mencari kejelasan tentang Yahweh, dapat ditelusuri dalam
Al-Kitab Interlinier (terjemahan langsung) Ibrani-Yunani-Inggris. Dalam teks
aslinya, kata Tuhan ternyata ditulis dalam empat huruf mati (tetramaton) saja.
Yaitu YHWH. Karena terdiri atas konsonan
semua, tentu saja tetagramaton ini tidak dapat dibaca. Namun dari berbagai
sumber informasi, nama tersebut ada yang membaca “Yahweh”, ada pula yang
menyebut “Yehova”. Ada yang menyingkat sebutan Yahweh dengan “Yah”.
Misalnya pada ungkapan “Haleluyah” (Terpujilah Yah)[37].
Spekulasi
Yahudi tentang nama Tuhan tersebut, berdampak pada konsepsi Kristen tentang
nama Tuhan yang bermacam-macam. Sebagai contoh, di negara Arab, umat kristen
menyebut Tuhannya dengan “Alloh”, seperti orang Islam menyebutnya, di Barat
umat kristen menyebut Tuhannya dengan “God” atau “Lord”. Dalam
pandangan Noorsena, kata Allah, meskipun di lingkungan Kristen Arab tidak
dipahami sebagai “nama diri”, sebutan ini begitu sentral kedudukannya dalam bahasa
Arab. Jadi, karena dalam tradisi Kristen, Allah tidak dianggap sebagai nama
diri (proper name), maka mereka diperbolehkan menyebut nama Tuhan dengan
berbagai panggilan.
Lafadz
Allah dalam tradisi Kristen bukan termasuk ismu dzat (nama diri).
Buktinya, masih banyak perdebatan seputar nama Allah sebagai nama Tuhan dalam agama
Kristen. Sebagai contoh, munculnya kelompok yang menamakan diri Gerakan Nama
Suci (Sacred Name Movement)[38],
dengan menolak pemakain kata Allah dalam Bible kemudian mengganti dengan nama
Yahweh. Kelompok ini perpandangan bahwa nama Allah adalah bukan nama Tradisi
Yudaik, akan tetapi nama itu adalah nama dewa orang Arab pada abad ke-7. Oleh
karena itu, lafadz Allah yang ada dalam Al-Kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru harus diganti dengan Elohim atau Yahweh. Di Indoneisa, gerakan ini
mengganti nama Allah dengan kata Elohim , kata Tuhan di ganti dengan Yahweh dan
Yesus di ganti dengan Yesua Hamsyah[39].
Kristen,
tidak hanya mengalamai problem nama Tuhan, tetapi juga mengalami permasalahan
ketuhanan Yesus[40]. Dalam
pemikiran Paulus[41],
ia memperoleh suatu metafisik yang serius. Paulus berpandangan, setiap orang
yang saleh, ia dapat menyatakan seperti apa yang dikatakan Yesus. Yaitu, Aku
dan bapaku (Tuhan) adalah satu dalam pengertian keserasian total dalam kehendak
Tuhan[42]. Para teolog Kristen pun tidak menolak pemikiran ini, bahkan
menerima begitu saja semua unsur sebagai satu kesatuan yang transenden. Kitab
kejdian 1:26 menyebut tiga pribadi dalam diri Tuhan.
Konsep ketuhanan Kristen ini, kemudian
mengalamai perubahan besar dan mendasar yang kemudian dalam konsili Nicea[43]
325 diputuskan mengenai identitas Tuhan Kristen. Tuhan bapak, anak dan ruhul
qudus merupakn Tuhan Kristen yang merekaa sebut dengan Trinitas. Trinitas ini
pun dikalangan mereka juga mengalami problem mendasar, yang kemudian lahirlah
konsili konstantin pada 381. Dalam konsili ini diputuskan dan di evaluasi
mengenai status Tuhan Kristen. Problem ketuhanan dalam Kristen terus menemukan
problem yang misterius.
Konsep Tuhan ala Kristen inilah yang ditentang
oleh Islam. Sayyid Muhammad Behesthi mengatakan, “Al-Qur’an dengan tegas dan
lugas mengatakan bahwa: tiada Tuhan selain Allah. Konsep tauhid dalam Al-Qur’an tidak pernah
menyatakan bahwa Tuhan Pencipta itu adalah Tuhan dari segala tuhan. Sedangkan
dalam agama-agama lainnya keesaan Tuhan itu kadang tidak dinyatakan secara
konsisten”.[44]
Kekeliruan Yahudi dan Nasrani juga dengan jelas dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Dan
orang-orang Yahudi serta Nasrani mengatakan: ‘Kami adalah anak-anak Allah dan
kekasih-Nya.’” (Q.S. Al-Maidah: 18). Yang dimaksud dengan kalimat “Kami
adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”, menurut Imam Ibnu Al-Jauzi adalah
Uzair dan Isa a.s[45].
Bagi umat Islam, penyebutan nama Tuhan yang
bersifat spekulatif tentu sangat bermasalah. Sebab, hal ini bisa mengaburkan
konsep tauhid Islam. Penyebutan kata “Allah” di dalam Al-Qur’an menandakan
bahwa penyematan nama untuk Dzat Yang Maha Kuasa haruslah bersumber dari Allah
sendiri dengan sifat-sifat yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an. Berkenaan dengan al-Qur'an sebagai wahyu Allah SWT
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka al-Qur'an dalam epistemologi
Islam merupakan sumber informasi yang benar yang otoritatif (khabar shadiq)[46].
Dengan demikian Konsep Tuhan dalam Islam jels-jels sempurna, karena bersumber
pada kitab suci yang otoritatif.
C.
Konsepsi Tuhan dalam Pluralisme Agama
Peradaban Barat dengan gelombang modernismenya,
telah medekonstrusi Tauhid umat Islam. Melalui paham liberalisme yang berakar
pada konsep relativisme dan skeptisisme[47],
sebagian orang telah gemar dan gencar melakukan penelaahan ulang terhadap
konsep-konsep yang fundamental dalam agama Islam. Kemudian membentuk arus baru
dengan apa yang disebut sebagai pluralisme agama. Penganut Pluralisme agama
berasumsi bahwa semua agama sama benarnya, sama-sama sah menuju Tuhan yang
sama. salah satu ‘penyakit’ yang disebar melalui paham ini adalah konsep
mengenai Tuhan. John Hick misalnya, menggagas konsep “The Eternal One”,
yaitu Tuhan yang menjadi tujuan semua agama. Apa pun jalannya tujuannya tetap
satu. Begitulah John Hick berpandangan.
Penganut
pluralisme agama menganggap bahwa Konsep
Tuhan agama tertentu, sama dengan konsep Tuhan dalam agama lain. Maka tak heran
bila muncul pernyataan seperti: satu Tuhan tiga agama; semua agama dapat
bertemu pada tataran esoterik; semua agama adalah jalan yang sama-sama sah
menuju Tuhan yang sama; banyak jalan menuju Tuhan; dan lain sebagainya. Padahal konsep Tuhan
dalam Islam berbeda dengan agama-agama lain, bahkan juga berbeda dengan tradisi
filsafat, budaya dan peradaban lain. Konsep Tuhan dalam Islam adalah unik dan
berbeda[48].
Jadi , tidak tepat bila menyamakan konsep Tuhan dalam level transendent
tidaklah tepat. Karena, pada level esoterispun, masing-masing agama memiliki
konsep Tuhan yang eksklusif yang berarti bahwa terdapat perbedaan antara agama
satu dengan yang lain.
Pemikiran
mengenai konsep Tuhan yang sama bisa jadi merupakan pengalaman
individu-individu tertentu mengenai agama-agama. Namun, pengalaman tersebut
bukanlah agama itu sendiri, karena pengalaman seperti itu tidak dapat
diturunkan kepada masyarakat dan seluruh manusia, namun hanya diraih oleh
golongan tertentu. Jadi kesatuan transendent (transendent unity) seperti
itu tidak dapat disebut “agama”, namun hanya merupakan pengalaman keagamaan.
Bagi kaum
pluralis, nama Tuhan apapun tidak menjadi masalah, karena dalam pandangan
mereka, agama adalah bagian dari ekspresi budaya manusia yang sifatnya relatif.
Oleh karenanya, tidak ada salahnya Tuhan disebut Allah, God, Lord, Yahweh, dan
ataupun yang lain. Salah satu Tokoh pluralisme agama adalah Prof. John Hick, yang
menyatakan:
“Ketika kita mengunjungi berbagai tempat ibadat, kita akan
menemukan para pemeluk agama datang ke tempat ibadat ma sing-masing untuk
membuka pikiran mereka terhadap Realitas yang lebih tinggi, yang dipikirkan
sebagai pencipta dan Raja alam semesta, dan sebagai pencipta moral yang sangat
diperlukan dalam kehidupan tiap laki-laki dan wanita. Tentu saja
pelaksanaaannya berbeda-beda. Yang lebih penting, wujud tertinggi dikenal
sebagai Tuhan di Gereja Kristen, sebagai Adonai (Yahweh) di Sinagog Yahudi,
sebagai Allah di Masjid orang Islam, sebagai Ekoamkar di Gurdwara Sikh,
sebagaai Rama atau Krishna di Kuil Hindu. Tetapi ada satu pengertian penting
dimana apa yang sedang dilaksanakan dalam beberapa bentuk pemujaan pada
dasarnya sama”[49].
Selanjutnya,
Menurut Hick, kesalahan umum yang dilakukan manusia sampai saat ini adalah
meyakini bahwa Tuhan yang mereka ketahui melalui ‚kacamata-kacamata‛
tradisional dan kultural mereka –Yahweh, Trinitas, Allah, Krisna, Wisnu, Siwa
dsb.– adalah Tuhan atau Realitas ketuhanan yang absolut, dan oleh karenanya
merupakan titik pusat dan pangkal keselamatan satu-satunya. Padahal tidak
demikian sebenarnya, karena Tuhan-tuhan tersebut, menurut hipotesa Hick,
hanyalah gambaran dari Realitas ketuhanan yang Absolut yang Tunggal dan tak terbatas
oleh segala macam ungkapan, konsepsi, dan pemahaman[50]. Oleh karena itu‚The Real‛ inilah yang menjadi sentra yang
sebenarnya.
Munir Mulkhan juga menulis:
“...... Tuhan dan ajaran atau kebenaran yang satu yang diyakini
pemeluk Islam itu bersifat universal. Karena itu, Tuhan dan ajaran-Nya serta
kebenaran itu mungkin juga diperoleh pemeluk agama lain dan rumusan konseptual
yang berbeda. Konsekuensi dari rumusan di atas bahwa Tuhannya pemeluk agama
lain, sebenarnya itulah Tuhan Allah yang dimaksud dan diyakini pemeluk Islam.
Kebenaran ajaran Tuhan yang diyakini pemeluk agama itu pula sebenarnya yang
merupakan kebenaran yang diyakini oleh pemeluk Islam[51].
....Tuhan yang Maha Tunggal itu adalah Tuhan yang diyakini pemeluk
semua agama di dalam beragam nama dan sebutan. Surga dan penyelamatan Tuhan itu
adalah surga dan penyelamatan bagi semua orang di semua zaman dalam beragam
agama, beragam suku bangsa, dan beragam paham keagamaan. Melalui cara ini,
kehadiran Nabi Isa a.s. atau Yesus, Muhammad saw., Buddha Gautama, Konfusius,
atau pun nabi dan rasul agama-agama lain, mungkin menjadi lebih bermakna bagi
dunia dan sejarah kemanusiaan...”[52]
Pernyataan
yang menyatakan bahwa semua agama menyembah pada Tuhan yang sama adalah rancu. Apalagi
menyamakan Tuhan Allah dengan Tuhan agama lain. Karena, semua agama yang ada
mempunyai sebutan Tuhan yang berbeda-beda dikarenakan konsep Tuhannya memang
berbeda. Di kalangan Kristen dan Yahudi, tidak ada penyebutan Tuhan secara
khusus karena mengalami problem perdebatan yang tiada habisnya. Agama lain
seperti: Hindu; Budha; Khonghucu; juga tidak menggunakan sebutan Tuhan mereka
‘Allah’. Adapun Kaum kristen Arab memakai sebutan Tuhannya Allah seperti halnya
dalam agama Islam. Namun itupun yang dimaksud adalah Tuhan Injil yang tidak
semua umat Kristen sepakat memakainya.
Pandangan
bahwa semua agama menyembah Tuhan yang sama, tidak dapat dibenarkan. Sebabnya,
dalam Kristen, nama Tuhan masih spekulatif dan problematik. Bahkan dalam Ajaran
Kristen pun sudah menyatakan tidak ada keselamatan di luar gereja (“extra
ecclesiam nulla salus”). Sikap Eksklusif Kristen ini juga dinyatakan oleh Martin Forward, dalam bukunya Christians and Religious Pluralism: Patterns in
the Christian Theology of Religions, bahwa “The exclusivist
maintains that salvation is given only to those who make an explicit commitment
to Jesus Christ”[53].
Dalam
pandangan Islam,
jalan menuju Allah hanya satu, yakni Islam, dengan mengikrarkan syahadat Islam
(“Laa ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah”). Jadi tidak ada jalan lain menuju Allah kecuali
Islam. Jika mengakui jalan agama samawi lainnya yang telah diselewengkan, tidak
mungkin seorang mufassir dan
sahabat Nabi Muhammad saw. sekaliber Ibnu Abbas, mengatakan: “Bagaimana
mungkin kamu boleh bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu perkara,
sedangkan Kitab kamu yang diturunkan kepada Rasulullah Saw ini lebih baru.
Bacalah ini saja, dan tidak perlu ditambah-tambah[54].
Islam tidak memiliki problem penyebutan Tuhan.
Sebab, Konsep Tuhan dalam Islam sudah otentik dan orisinil. Konsep Islam tentang
Tuhan ini telah mematahkan konsep ketuhanan agama Yahudi, kristen yang bersifat
spekulatif dan problematik. Begitu juga Tuhannya penganut pluralisme agama yang
masih dalam keraguan. Umat Islam diseluruh dunia sudah sepakat untuk menyebut
nama Tuhannya dengan Allah. Terdapat asumsi yang kuat bahwa memang Allah telah
mengenalkan namanya kepada para nabi dan Rasulnya dengan sebutan ‘Allah’.
Sebagimana, ketika Allah hendak memberi wahyu kepad nabi Musa a.s. dengan
firmannya:
Sesungguhnya
aku Inilah Tuhanmu, Maka tanggalkanlah kedua terompahmu; Sesungguhnya kamu
berada dilembah yang Suci, Thuwa. Dan aku telah memilih kamu, Maka dengarkanlah
apa yang akan diwahyukan (kepadamu).Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak
ada Tuhan (yang hak) selain Aku, Maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk
mengingat aku.
Konsep
Tuhan dalam Islam yang sudah final ini,disetuji oleh pakr sejarah Karen
Amstrong. Ia menyatakan bahwa umat Islam tidak mengalami problem mendasar
tentang konsep ketuhanannya. Konsep ini mengesampingkan praduga-praduga (dzanna)
yang tidak bisa dibuktikan, yang berebda dengan konsesi ketuhanan agama lain[55].
Dikarenakan Islam memiliki metode yang khas tentang konsep Tuhan, maka tidak
ada perselisihan pendapat diantara kaum muslimin dalam menyebutnya. Untuk memanggil nama-Nya, telah diajarkan
oleh Rasulullah saw. secara turun temurun sampai kepada kita dengn sanad yang
bersambung sampai kepada Allah. Nama tersebut juga dihaal oleh para hufadz
(penghafal al-Qur’an) sehingga konsepsi keagamaan selalu terjaga dengan baik.
Jadi,
konsep Tuhan dalam Islam yang otentik dan final dan didasarkan atas wahyu,
telah mematahkan asumsi-asumsi konsep-konsep ketuhanan agama lain yang masih
problematik. Lafadz “Allah” yang merupakan nama Tuhan, sudah ada sejak zaman
arab Pra-Islam. Lafadz tersebut juga yang dipakai Allah untuk mengenalkan
diri-Nya kepada makhluknya. Adapun Konsep Tuhan dalam Islam dirumuskan dalam
al-Qur’an yang tergambar dalam syahadat tauhid “Laa ilaaha illallah,
Muhammadur Rasulullah” (tiada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah
utusan Allah). Wallahu ‘A’lam Bi As-Shawab.
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
al-Karim
Al-Kitab,
Lembaga Alkitab Indonesia, (1999)
Abdul Munir
Mulkhan, Kesalehan Multikultural, (Jakarta: Pusat Studi Agama dan
Peradaban, 2005)
Ahmad Syalabi, muqaranatu
al-Adyan, (terj. Perbadingan Agama; Agama Yahudi), (Jakarta: Bumi Aksara,
1991)
Al-Raghib
al-Asfahani, bab wahyu. Muhammad Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fii
Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabiy, 1415 H/1995 M)
Bambang Noorsena, The History of Allah, (Yogyakarta: Andi,
205)
Donald M.
Borchert, Editor in chief, Encyclopedia of Philosophy, Second Edition,
Volume 9, (MacMillan Reference USA, 2006)
Ellen Kristi, Yesus
Kristus Bukan Allah Tapi Tuhan, (Demak: Borobudur Indonesia Publising,
2009)
Fakhruddin al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib
al-Qur’an), (Jakarta: Zaman, 2011)
Hafidz
Abdurrahman, Islam: Politik dan Spiritual, (Singapore: Lisan
ul-Haq,1998)
Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Riverhead Books,
2005)
Ibn Katsir, Tafsir
al-Qur’an al-Adzim, (Riyadh: Maktabah Dar al-Salam, 1994)
Herlainto, Gerakan
Nama Suci, Nama Allah yang dipermasalahkan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2009)
Isma'il Raji
Al-Faruqi, Al-Tawhid. Cetakan IV. The International Institute of Islamic
Thought, (Herndon USA, 1992)
John Hick, God Has Many Name
Khafrawi Ridwan, MA, Ensiklopedia
Islam, (Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997)
Karen Armstrong, Perang suci: dari perang
salib hingga perang teluk, Penerbit
Serambi (Jakarta, Oktober 2003)
Karen
Armstrong, Sejarah Tuhan, (Bandung:
PT Mizan Pustaka, 2001)
Martin Forward, Inter-Religious Dialogue: A Short Introduction (England:
Oxford, 2007)
Muhammad kamil
Hasan Al-Mahami, Al-Maushu’ah al-Qur’aniyyah (terj. Ahmad Fawaid
Syadzili; Ensiklopedi Al-Qur’an), (Jakarta Timur: Kharisma Ilmu, 2005)
M. I Ananias, Evolusi Kristen (Yogyakarta: Gelanggang, 2008)
Sayyid Muhammad
Husayni Behesthi, Selangkah Menuju Allah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002)
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Prolegomena To The
Metaphisics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995)
The interpreters Dictionary of Bible,Vol. II, (Nashville: Abingdon Press, 1989)
Toshihiko
Izutsu, Relasi Tuhn dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003)
Jurnal Islamia, Thn II No 5 April-Juni 2005
[1] S.M.
Naquib Al-Attas, Prolegomena To The Metaphisics of Islam, (Kuala Lumpur:
ISTAC, 1995), p. 7.
[2] Ibid, p.
5.
[3] Isma'il
Raji Al-Faruqi, Al-Tawhid. Cetakan IV. The International Institute of
Islamic Thought, (Herndon USA, 1992). P. 3
[5] Q.S.
Muhammad: 19
[6] Q.S.
Thaha:13-14
[7] Secara bahasa kata wahyu memiliki beragam
makna. Diantaranya adalah, berbicara secara sembunyi, isyarat atau memberi
tanda, memberi informasi secara cepat, memberi informasi secara tertulis atau
menuliskan sesuatu dan memberi ilham[7].
Dengan definisi etimologis tersebut dapat dikatakan bahwa pemberian informasi
wahyu tersebut dapat disampaikan dalam tiga bentuk, yaitu melalui komunikasi
oral, melalui isyarat panca indera, melaui suara dan melalui tulisan[7].
Secara terminologis, Ibnu Mandzur mendefinisikan, wahyu adalah pemberian
informasi yang tersembunyi yang khusus disampaikan kepada para nabi Allah SWT.
Lihat, Ibnu
Mandzur, Lisanul Arab bab wahyu. Sementara, definisi syari’ah
mengatakan, bahwa wahyu adalah kalam Allah SWT yang khusus disampaikan
kepada para nabi-Nya. Wahyu didefinisikan sebagai pemberitahuan Allah SWT
kepada para Nabi-Nya tentang pesan-pesan Ilahi berupa syari'at dan
berita-berita lain secara sembunyi –
yang tidak biasa dialami oleh manusia biasa. Lihat, Al-Raghib al-Asfahani, bab wahyu. Muhammad
Abdul Adzim, Manahil al-Irfan Fii Ulum al-Qur'an (Beirut: Dar
al-Kitab al-'Arabiy, 1415 H/1995 M), p.55.
[8] Q.S.
Al-Isra’: 70
[9] H.R.
Muslim, Ibn Majah, dan al-Tirmidzi.
[10]
H.R. al-Tirmidzi, al-Darami, Ibn Majah, Ahmad
[11] Khafrawi
Ridwan, MA, Ensiklopedia Islam,
(Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997), p. 123-124
[12] Fakhruddin
al-Razi, Kecerdaan Bertauhid, (Terj. ‘Ajaib al-Qur’an), (Jakarta:
Zaman, 2011)
[13] Ibid
[14] Ism Jamid adalah kata benda yang tidak
berasal dari kata lain.
[15] Ibn
Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘A’dzim Juz 1 (Riyadh: Maktabah Dar
al-Salam, 1994), p.40
[16] Toshihiko
Izutsu, Relasi Tuhn dan Manusia Pendekatan Semantik Terhadap Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003), p. 105.
[17] Lihat, Q.S. 29: 61,63; Q.S. 31:25; Q.S.39:38;
Q.S.43:9,87; Q.S.13:17; Q.S.16:53; dan
Q.S. 29:65
[18] Khafrawi
Ridwan. Ensiklopedia Islam, (Jakarta: ichtiar baru Van Hoeve, 1997), p.
123-124
[19] Muhammad
kamil Hasan Al-Mahami, Al-Maushu’ah al-Qur’aniyyah (terj. Ahmad Fawaid
Syadzili; Ensiklopedi Al-Qur’an), (Jakarta Timur: Kharisma Ilmu, 2005), p.
20-21
[20] Ibid
[21] Weech, Civilization
of the Near east, p. 84 dan 85 dalam Ahmad Salabi, Muqaranatu al-Adyan,
(terj. Perbandingan Agama; Agama Yahudi), (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 171
[22] Samiri
adalah kaum Bani israil dari suku Assamirah. Patung sapi yang dibuat Samiri
dibuat dari segenggam tanah bekas jejak telapak kaki kuda Jibril as, lalu tanah
itu dilempar ke dalam logam, dan dibuatlah sapi yang bisa mengeluarkan suara.
[23] Untuk
kisah lebih jelasnya bisa dilihat dalam
QS. Thaha 85-98
[24] Wiil
Durant, Qishash al-Hadlarah, Juz 2 p. 339
[25] Bible
kitab Raja-Raja (18): 4
[26] Ahmad
Syalabi, muqaranatu al-Adyan, (terj. Perbadingan Agama; Agama Yahudi),
(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 172
[27] Lihat,
Harold Bloom, Jesus and Yahweh, (New York: Riverhead Books, 2005), p.
127.
[28] Bambang
Noorsena, The History of Allah, (Yogyakarta: Andi, 205), p. 23.
[29] Kitab
Kejadian Lama, 6:2, 4
[30] Masmur
2:7, 89: 26, Samuel II, 7: 24
[31] Karen Armstrong, Perang suci: dari perang
salib hingga perang teluk, Penerbit Serambi (Jakarta, Oktober 2003), hal. 30
[32] Ismail
Raji Al-Faruqi, Tauhid, (Bandung, Penerbit Pustaka Bandung: 1988), p. 20
[33] Ahmad
Syalabi, Muqaranatul al-Adyan, (terj. Perbandingan Agama; Agama Yahudi),
(Jakarta: Bumi Aksara, 1991), p. 172
[34]
Herlainto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang dipermasalahkan, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2009), p. 98
[35] Ibid., p.
102
[36] The
interpreters Dictionary of Bible,Vol. II, (Nashville: Abingdon Press,
1989), p. 411-412.
[37]
Ellen Kristi, Yesus Kristus Bukan Allah Tapi Tuhan, (Demak: Borobudur
Indonesia Publising, 2009), p. 19
[38] Sacred Name Movement adalah
orang-orang kristen yang terpengaruh tradisi Yahudi. Berdiri pada Tahun 1930 di
Amerika Serikat, misi utamanya adalah mengembalikan ajaran kristen kepada akar
Yudaik (Hebraic Roots Movement), seperti dalam hal ritual dan penyebutan nama
Tuhan, yaitu menyebut nama Tuhan dengan Yahweh
[39] Lebih
jelasnya, lihat Herlianto, Gerakan Nama Suci, Nama Allah yang dipermaslahkan,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), p. 93.
[40] Yesus,
bagi kaum Kristen adalah Tuhan sebagai penyelamat bagi manusia. Untuk
mennguatkan klimnya, bahwa Yesus itu
Tuhan umat Kristen menggunakan banyak sekali ayat-ayat Bible. Diataranya adalah
ayat-ayat menceritakan mukjizat Yesus, seperti (1) Yesus menyembuhkan penyakit
kusta (Matius 8: 1-4; Markus 1:40-42; dan Lukas 5: 12-130; (2) Yesus
menyembuhkan hamba seorang perwira (Matius 8: 5 dan Lukas 7:1-10); (3) Yesus
menyembuhkan orang lumpuh (Matius 9: 1-8; Markus 2: 1-12 dan Lukas 5:17-26);
(4) Yesus menyembuhkan orang buta (Matius 9:27-31; 20:29-34; Markus 8:22-25;
10: 46-52; Lukas 18:35-43 dan Yohanes 9:1-7); (5) Yesus membangkitkan orang
mati (matius 9: 18-26; Markus 5:22-24; 35-43, dan Lukas 8: 41-42). Menurut umat
kristen ayat-ayat tersebut menjadi dasar bahwa Yesus itu Tuhan.
[41] Paulus
adalah seorang Yahudi dari suku Benyamin beraliran farisi dn Saduki-aliran
Yahudi yang sangat keras memusuhi Yesus. Lahir di Kilikia dan menjadi Warga
negara Romawi, konon ia tidak pernah bertemu Yesus, karena ia hidup beberapa
tahun setelah Yesus ghaib. Lihat kisah lengkapnya pada Kodiran Salim, Paulus
merombak ajaran Yesus? (Jakarta: Ulil Albab Pusat Kajian Independen Lintas
Kitab Suci, tanpa tahun), p. 53-55. Sebelumnya Jemaat awal Kristen konon masih
menyembah Allah yang Esa dan masih menganggap Yesus sebagai utusan Allah.
Ketika konsili berlangsung pun terjadi tarik menarik antara kelompok Gereja
untuk memutuskan apakah Yesus itu benar-benar Tuhan, anak Tuhan atau seorang
Rasul. Kelompok Gereja yang keras menentang keilahian Yesus adalah kaum
Arianisme (kelompok Gereja Timur yang meyakini Yesus adalah seorang nabi dan
manusia biasa yang mendapat wahyu dari
Allah.Dalam sidang tersebut berjalan alot (yang memakan waktu dua minggu). Pada
sidang tersebut terjadi polarisasi aliran Gereja, yang menentang ketuhanan
yesus diwakili oleh kelompok Arian dn yang mendukung keilahian Yesus disebut
anti-Arianisme dipimpin uskup Athanasius dan Alexander yang kemudian
dimenangkan anti-Arianisme berdasarkan voting. Lihat, M. I Ananias, Evolusi
Kristen (Yogyakarta: Gelanggang, 2008), p. 248-249.
[42] Karen Armstrong, Perang suci: dari perang
salib hingga perang teluk, (Jakarta: Penerbit Serambi, 2003) , hal. 3
[43] Konsili Nicea adalah konsili oikumenis
(mewakili gereja seluruh dunia), Nicea merupakan nama sebutan kota yang
sekarang bernama kota inzik Turki. Konsili ini dihadiri oleh sektar 2000 tokoh
Gereja. Sekitar 250 di antaranya adalah uskup yang berasal dari Romawi,
selebihnya adlah para pendeta dari daerah lain yang kedudukannya di bawah
uskup. Keputusan penting konsili ini adalah memutuskan ketuhanan Yesus yang disebut
dengan Syahadat Iman Nicea.
[44] Sayyid Muhammad Husayni Behesthi, Selangkah
Menuju Allah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), p.139.
[45] Hafidz Abdurrahman, Islam: Politik dan
Spiritual, (Singapore: Lisan ul-Haq,1998), p. 31.
[46]
Khabar shadiq adalah sumber ilmu dalam Islam.
Ia adalah informasi benar yang memiliki otoritas. Imam al-Nasafi menejelaskan
bahwa yang termasuk khabar shadiq ada dua. Pertama, yaitu informasi yang
tidak diragukan lagi karena berasal dari banyak sumber yang tidak mungkin bersekongkol
untuk berdusta, dan oleh Karena itu merupakan sumber ilmu yang pasti
kebenarannya. Kedua, informasi yang dibawa dan disampaikan Rasul SAW yang
diperkuat dengan mu'jizat. Informasi jenis ini bersifat istidlaliy. Lihat
Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA Thn II No 5 April-Juni 2005.
[47]
Skeptisisme berasal dari bahasa Yunani ‚skeptesthai‛ yang berarti
menguji, menyelidiki, mempertimbangkan. Ia merupakan pandangan filosofis yang
mengatakan bahwa mustahil bagi manusia untuk mengetahui segala sesuatu secara
absolut.7 Kaum skeptis selalu meragukan setiap klaim pengetahuan, karena
memiliki sikap tidak puas dan masih mencari kebenaran. Lihat, Donald M.
Borchert, Editor in chief, Encyclopedia of Philosophy, Second Edition,
Volume 9, (MacMillan Reference USA, 2006), hlm. 47
[48] Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena......, p.7
[49] John
Hick, God Has Many Name, p.40
[50] John Hick
berkali-kali mengulang analisis Kantiannya ini di berbagai karyanya, lihat
misalnya: Hick, Philosophy of Religion, hlm. 118-121; ---------,
‘Religious Pluralism’, hlm. 159-164; ---------, Problems of Religious
Pluralism, hlm.39-44; ---------, An Interpretation of Religion, hlm.
240; ---------, ‘The Real and Its Personae and Impersonae,’ hlm. 143-58.
[51]
Abdul Munir Mulkhan, Kesalehan Multikultural, (Jakarta: Pusat Studi
Agama dan Peradaban, 2005), p.
182-183
[52] Ibid, p.
190
[53]
Lihat Martin Forward, Inter-Religious Dialogue: A Short Introduction (England:
Oxford, 2007),
hal. 39
[55] Karen
Amstrong, Sejarah Tuhan (terj), (Bandung: Mizan; 2001), p. 199-200
thanks, berguna sekali ini (y)
BalasHapusdalam surat al-Isra’, Allah berfirman, “Tidak ada Tuhan selain Dia"
BalasHapusPersepsi: tuhan berkata “Tidak ada Tuhan selain Dia"
Bagaimana mungkin tuhan megatakan tidak ada tuhan selain "Dia"
pertanyaannya: "Dia" siapa?
Penjelasanya kurang mendalam.konotasinya masih ada unsur merendahkan agama lain.aq ndak suka.pdahal aq sendiri orang islam
BalasHapus